Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Gejolak pasar keuangan global masih menjadi salah satu isu besar bagi Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan. Adanya rencana penaikkan suku bunga acuan The Fed membuat BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5%.
Agus D.W Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia mengatakan, pihaknya tetap waspada akan dampak kebijakan yang diambil oleh sejumlah otoritas global. Selain rencana kenaikan suku bunga The Fed, kebijakan pelonggaran yang dilakukan Bank Sentral Jepang, China, dan Eropa juga menjadi pertimbangan BI dalam menentukan kebijakan.
Oleh karena itu, kendati BI Rate tetap di level semula, BI juga melakukan pelonggaran melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) primer dari 8% menjadi 7,5%. Menurut itung-itungan BI, penurunan ini bisa menambah kemampuan penyaluran kredit perbankan hingga Rp 18 trliun.
BI menyadari, ketidakpastian kondisi perekonomian dan pasar keuangan gkoal akan berdampak pada kurs rupiah terhadap dollar AS.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar merah putih sudah melemah sekitar 10% year-to-date (ytd) ke level Rp 13.711 per dollar AS. BI pun berupaya sekuat tenaga agar kurs rupiah tetap berada di level fundamentalnya.
Intervensi pun dilakukan sehingga cadangan devisa (cadev) Indonesia pun menyusut sekitar US$ 1 miliar per Oktober 2015 menjadi US$ 100,7 miliar. Namun, Agus berpendapat, posisi cadev masih aman.
"Posisi cadev masih berada di atas standar kecukupan internasional, yakni setara dengan tiga bulan impor," ujarnya, Selasa (17/11).
Adapun, nilai cadev Indonesia saat ini setara dengan 7,1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Perry Warjiyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia menambahkan, saat ini yang sulit diprediksi adalah reaksi pasar yang sifatnya spekulatif.
Oleh karena itu, pihaknya melakukan antisipasi agar tekanan cadev bisa diminimalisir. Dalam hal ini melakukan koordinasi dengan pemerintah. Adapun, koordinasi ini dibawa ke dalam tataran perjanjian internasional dalam bentuk peningkatan nilai billateral currency swap agreement (BCSA) dengan China.
BI dan People Bank of China (PBoC) sepakat mengerek nilai plafon BCSA dari 100 renminbi atau setara dengan US$ 15 miliar menjadi 130 miliar renminbi atau US$ 20 miliar.
"(kesepakatan) ini dilakukan supaya makin kuat menghadapi gejolal eksternal dan antisipasi naiknya Fed Fund Rate," terang Perry.
Hingga saat ini peningkatan nilai kesepakatan baru dilakukan dengan China. Menurur Agus, pihaknya belum berencana meningkatkan kerjasama serupa dengan negara lain, seperti Korea Selatan, Jepang, dan beberapa negara ASEAN.
"Yang lain masih pada kesepakatan lama, itu saja belum terpakai," tuturnya.
Sebelumnya, BI dan Korea meneken perjanjian kerja sama BCSA senilai 10,7 triliun won atau ekuivalen dengan US$ 10 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News