Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - MEDAN. Bank Indonesia (BI) memandang bahwa kondisi ekonomi global di semester kedua tahun ini semakin melambat. Ini akibat dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, AS telah menaikkan tambahan tarif ke 25% untuk nilai perdagangan China ke AS sebesar US$ 200 miliar. Sementara China membalas dengan tambahan tarif sampai 25% untuk nilai perdagangan AS ke China sebesar US$ 60 miliar.
Sementara itu, dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Osaka Summit 2019 lalu, AS dan China sepakat untuk membahas lebih lanjut terkait perang dagang tersebut. Sehingga ini berarti perang dagang belum bisa dikatakan selesai.
Sehingga, "Kepastian atas ketidakpastian ini akan membuat ekonomi global melambat. Sekarang ini pasar melihat trade war kemungkinan besar bakal berlanjut," kata Dody, Jumat (19/7) lalu.
Dody juga menyebut, pasar menganggap kebijakan perang tarif tersebut merupakan alat Trump untuk melenggang ke pemilu AS yang dilangsungkan pada tahun depan. "Jadi ini (perang dagang) bisa saja sampai election. Setelah itu seperti apa kita tidak tahu. Kita lihat tahap I sampai 2020,” tambahnya.
Menurut Dody, perlambatan ekonomi akan terjadi secara global dikonfirmasi oleh lembaga internasional seperti IMF. Bahkan, "Mulai semester kedua akan terjadi kondisi (ekonomi global) yang lebih turun," tambahnya. Terutama pada ekonomi AS.
Dampak perang dagang akan membuat perdagangan di negara emerging dan negara maju akan melambat. Dan Indonesia bukan satu-satunya negara yang terdampak persoalan tersebut. Sebab negara maju maupun ASEAN-5 mengalami kinerja ekspor yang menurun.
Ia menambahkan, dampak perang dagang bakal tercermin terhadap kondisi permintaan domestik. Sebab melemahnya konsumsi domestik berkaitan dengan penghasilan. Sementara ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas. Selain itu, perang dagang juga mempengaruhi produksi sektor industri. Ini yang membuat investasi juga melemah.
Berbagai negara telah memitigasi hal itu baik melalui kebijakan penurunan suku bunga maupun kelancaran likuiditas melalui Giro Wajib Minimum (GWM) sebagaimana yang dilakukan oleh Indonesia. Selain itu, negara juga bisa menempuh kebijakan konvensional seperti quantitative easing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News