kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berlaku 1 Juli, Pajak Karbon juga Menyasar Konsumen lo, Ini Detilnya Sesuai UU HPP


Senin, 20 Juni 2022 / 19:14 WIB
Berlaku 1 Juli, Pajak Karbon juga Menyasar Konsumen lo, Ini Detilnya Sesuai UU HPP
ILUSTRASI. Pemerintah menyatakan pajak karbon akan berlaku 1 Juli 2022 dengan tahap awal PLTU. Merujuk UU HPP, pajak karbon menyasar konsumen lo. KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  Pemerintah sudah mengirim sinyal akan menerapkan pajak karbon mulai 1 Juli 2022. Meski tinggal dalam hitungan hari, sampai saat ini, pemerintah belum membuka jelas skema pajak karbon yang bakal berlaku.

Yang sudah terungkap, tahap pertama penerapan pajak karbon akan menyasar ke sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan skema pajak berdasarkan batas emisi (cap and tax). Ini artinya: sisa emisi yang dihasilkan PLTU melebihi cap atau batasan akan dikenakan pajak (tax).

“Tarifnya minimal, Jadi, tidak terlalu mendisrupsi, bahkan kami mendorong pasar karbon yang sedang berjalan di PLTU," ujar Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF()< Kementerian Keuangan (Kemenkeu)  pekan lalu.

Tak detail menjelaskan skema, Febrio hanya berujar skema yang berlaku adalah cap and trade. “Kami  mengenakan cap and tax. Capnya yang menentukan ESDM (Kementerian Energi Sumber Daya Mineral)," jelas Febrio.

Pemerintah, kata Febrio,  hingga kini masih menyiapkan skema cap and tax atas emisi karbon yang dihasilkan PLTU. Namun, acap pemerintah menyebut tarif pajaknya minimal setara Rp 30 per Kilogram (Kg) karbon CO2e.

Baca Juga: Soal Rencana Penerapan Pajak Karbon, Begini Tanggapan Sejumlah Pengembang PLTU

Pajak karbon nampaknya akan menjadi alat kontrol pemerintah untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan produsen maupun yang dikonsumsi konsumen.

Namun yang menarik dan layak kita cermati bersama, dalam Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Bab IV, pasal 13 Ayat 5 UU HPP disebutkan bahwa subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau barang menghasilkan emisi karbon.

Ini berarti subyek pajak karbon adalah konsumen.  Adapun jika produsen atau semisal perusahaan batubara yang menjual batubara ke industri lain atau perusahaan akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon, bukan subyek pajak karbon.

Dus, ini artinya, jika listrik Anda menggunakan batubara atau sumber lain yang menghasilkan emisi melebihi takaran atau cap yang ditentukan pemerintah, Anda akan dikenakan pajak karbon yang besarannya minimal Rp 30 per Kg atau ekuivalen saat pembayaran tagihan listrik, meski Anda tak mengetahui sumber energi listrik yang dihasilkan pembangkit.

Berapa besarannya?  Ilustrasinya sebagai berikut:

Misalnya: PLTU di Indonesia rata-rata membutuhkan 1 kilogram batubara untuk menghasilkan 1 kwh listrik. Adapun cap yang ditentukan pemerintah  900 gram atau 0,9 kilogram. Ini  artinya yang akan dikenakan pajak adalah emisi sisanya yakni  0,1 kilogram.

Dus, jika merujuk peryataan Febrio, pemerintah juga akan memungut pajak karbon ke entitas, meski ia sebut nilainya kecil.

Merujuk peta jalan terkait pajak karbon, skema pajak karbon untuk entitas nampaknya masuk dalam skema perdagangan karbon (cap and trade). Dalam skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap (batasan) yang ditetapkan pemerintah, perusahaan tersebut harus membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas lain yang emisinya di bawah cap.

Cara lainnya, jika perusahaan tidak dapat membeli seritifikat penurunan emisi (SPE) secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka akan  berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

Namun, belum jelas benar skema yang bakal ditetapkan pemerintah, termasuk batasan emisi (cap) yang tak melewati batas untuk perusahaan penghasil emisi. Tak jelas pula siapa yang melakukan uji emisi yang dihasilkan perusahaan,  penerbit sertifikat izin emisi, hingga harga per kilogram atau setara emisinya yang dikenakan pemerintah untuk penghasil karbon.

Yang pasti, pajak karbon akan berlaku bertahap. Target pemerintah mulai 2025 dan seterusnya, pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain.

Masih merujuk UU HPP, target pemerintah mengenakan pajak karbon adalah sebagai alat kontrol untuk mengubah perilaku konsumen serta praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi.

Penerapan pajak karbon sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Apalagi, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sebanyak 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Namun, rencananya, pengenaan pajak karbon  akan selaras dengan carbon trading yang masuk bagian dari roadmap green economy.  Merujuk roadmap green economy, hasil pajak karbon akan dipakai untuk membiayai sektor lain yang dinilai penting bagi Indonesia, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, maupun industri hijau (green industry). Hasil dari pajak karbon juga sekaligus mendukung pengembangan serta inovasi energi baru terbarukan (new renewable energy).

Beberapa negara menjadi contoh pemanfaatan pajak karbon. Catatan World Bank (2021), pajak karbon telah diterapkan di 27 negara di seluruh dunia.

  1.  Finlandia adalah negara  pertama di dunia yang menerapkan pajak karbon. Barlaku pada di tahun 1990, pajak karbon di Finlandia saat ini US$ 68 per ton emisi karbon. Asal tahu saja, ini adalah tarif pajak karbon tertinggi ke tiga  di Eropa. Pajak ini berlaku  atas emisi CO2  yang dihasilkan sektor industri transportasi dan bangunan. Namun ada pengecualian untuk industri tertentu.
  2. Swedia mulai  menetapkan pajak karbon  tahun 1991. Saat ini, tarif  yang berlaku sebesar US$119 per ton  atas emisi karbon, tertinggi di kawasan Eropa. Pajak karbon menyasar bahan bakar fosil dan emisi CO2, terutama dari sektor transportasi dan bangunan.
  3. Swiss menerapkan pajak karbon sejak 2008 dengan tarif US$99 per ton emisi karbon. Pajak karbon Swiss berlaku untuk emisi CO2 dari sektor industri, listrik, bangunan dan transportasi.
  4. Polandia mengutip pajak karbon sejak tahun 1990 dengan tarif US$ 0,10 per ton emisi karbon.  Ini adalah pajak karbon  terendah di Eropa. Pajak ini berlaku untuk semua bahan bakar fosil dan bahan bakar lain yang menghasilkan emisi GRK serta emisi GRK dari semua sektor, tetapi dengan pengecualian untuk entitas tertentu.
  5. Kanada memungut pajak karbon sejak tahun 2019. Pajak karbon di Kanada terus mendaki, dimulai US$20 per ton emisi karbon, tarif akan terus dinaikkan senilai US$15 setiap tahun hingga mencapai US$170 pada 2030. Pajak karbon berlaku untuk  bahan bakar dan emisi GRK dari semua sektor dengan beberapa pengecualian untuk sektor industri, pertanian dan transportasi.
  6. Meksiko mengenakan pajak karbon tahun 2014 dengan tarif US$0,4 per ton CO2 hingga US$3 per ton CO2. Pajak ini berlaku untuk sektor listrik, industri, transportasi jalan rasa, penerbangan, perkapalan, bangunan, limbah, kehutanan, pertanian.
  7. Chili mengenakan pajak karbon pada 2017 dengan tarif US$5 per ton emisi karbon untuk sektor listrik dan industri dan mencakup semua jenis bahan bakal fosil.
  8. Afrika Selatan mengutup pajak karbon pada tahun 2019 dengan tarif US$9 per ton emisi karbon untuk  sektor industri, listrik, bangunan dan transportasi, terlepas dari bahan bakar fosil yang digunakan.
  9. Singapura adalah negara pertama di Asia Tenggara yang mengenakan pajak karbon. Negeri Jiran ini  mulai menetapkan pajak karbon 1 Januari 2019 dengan tarir US$4 per ton emisi karbon untuk emisi GRK dari industri dan sektor listrik dengan pengecualian untuk sektor tertentu.
  10.  Jepang menerapkan pajak karbon pada tahun 2012 dengan tarif US$3 per ton emisi karbon. Pajak ini berlaku untuk seluruh industri yang menghasikan emisi CO2, dengan pengecualian. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×