kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Berada di bawah PDB sejak 2011, kinerja industri manufaktur kian melambat


Minggu, 20 Januari 2019 / 15:38 WIB
Berada di bawah PDB sejak 2011, kinerja industri manufaktur kian melambat


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang 2018, neraca perdagangan Indonesia mencetak defisit sebesar US$ 8,75 miliar. Kian membengkaknya defisit sejalan dengan impor yang masih tumbuh, sementara ekspor kian tertekan. Meski impor meningkat, tapi kinerja industri manufaktur justru kian melambat dari tahun ke tahun.

Padahal, tingginya impor barang modal dan bahan baku seharusnya dapat mendorong kinerja industri pengolahan di dalam negeri. Namun harapan tersebut tidak sesuai kenyataan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor sepanjang 2018 sebesar US$ 180,06 miliar, sedangkan impor sebesar US$ 188,63 miliar. Baik ekspor maupun impor masing-masing mencatat kenaikan 6,65% dan 20,15% dibandigkan dengan tahun sebelumnya.

Di sisi impor, sektor barang konsumsi masih memimpin dengan kenaikan 22,03%. Diikuti dengan impor bahan baku yang meningkat 20,06% dan impor barang modal tumbuh 19,54%.

Golongan bahan baku atau penolong menyumbang porsi 75,01% atau senilai US$ 141,49 miliar dari total impor sepanjang Januari-Desember 2018.

Kendati begitu, tingginya laju pertumbuhan impor bahan baku dan barang modal tak berlangsung paralel dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan alias manufaktur di dalam negeri. Jika menilik data, laju pertumbuhan industri manufaktur Indonesia terus melambat dan berada di bawah laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Terakhir kali pada tahun 2011, pertumbuhan industri manufaktur mencapai 6,26% atau di atas pertumbuhan PDB nasional 6,17%. Tahun 2017, pertumbuhan industri manufaktur cuma 4,27%, di bawah kinerja ekonomi Indonesia 5,07%. Data terakhir BPS per akhir kuartal-III 2018, pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,33%, padahal pertumbuhan PDB mencapai 5,17%.

Adapun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, dalam Outlook Ekonomi 2019, menyatakan, pertumbuhan industri manufaktur di tahun ini ditargetkan mampu mencapai 5,1%.

"Kita akan lebih fokus pada tataran industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Kita perlu basis industri yg cukup agar respons terhadap dinamika ekonomi dunia bisa cepat," ujarnya belum lama ini.

Ia menyebut, pemerintah akan fokus meningkatkan daya saing industri, khususnya pada sektor yang dianggap sanggup unggul (picking-winner) seperti sektor tekstil, makanan dan minuman, otomotif, elektronik, dan kimia.

Untuk mendorong daya saing, lanjut Darmin, telah dilakukan perbaikan iklim usaha melalui OSS, fasilitas insentif perpajakan dan pengembangan program vokasi untuk jangka pendek. Pemerintah juga akan melakukan perbaikan prosedur untuk mengurangi biaya ekspor dan memilih komoditas sektor-sektor unggulan, sambil melanjutkan pembangunan infrastruktur dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) untuk jangka panjang.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga menyebut, salah satu isu penghambat laju pertumbuhan ekonomi yang paling krusial ialah industri manufaktur dan produktivitasnya.

Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sektor manufaktur diharapkan bisa tumbuh 5,40% - 7,05% seiring dengan laju pertumbuhan PDB yang diharapkan pada kisaran 5,40% - 6,00%.

"Industri manufaktur kita, terutama yang untuk ekspor, masih belum meyakinkan. Tantangannya adalah meningkatkan nilai tambah yang relatif masih rendah dan kalah saing dengan negara lain supaya dan kita tidak lagi tergantung pada sawit, batubara, dan minyak untuk mendapatkan devisa," ujar Bambang, Kamis (17/1) lalu.

Kontribusi industri pengolahan terhadap ekspor nonmigas memang termasuk tinggi yakni sekitar 72% dari total ekspor Indonesia. Kendati begitu, hampir separuh ekspor tersebut didominasi oleh barang komoditas dan ekspor barang manufaktur masih kalah saing dengan negara-negara lain.

Belum lagi, rasio ekspor terhadap PDB Indonesia masih berkisar 19%. Menurut data Kementerian Perindustrian, rasio tersebut masih jauh lebih rendah daripada Thailand yang mencapai 69%, Vietnam 93%, dan Singapura 172%.

Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menilai revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan. Hal ini demi mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur, apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan.

Menurut Faisal, pertumbuhan sektor manufaktur semestinya bisa melampaui pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Indonesia tak bisa lagi bergantung pada sektor komoditas jika ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan di tahun-tahun mendatang.

"Industri manufaktur mesti jadi main-driver pertumbuhan. Harusnya ditargetkan pertumbuhan sektor manufaktur bisa mencapai 7%," tutur dia.

Oleh karena itu, pemerintah mesti fokus merevitalisasi industri manufaktur untuk lima tahun ke depan, sebagaimana pemerintah fokus membenahi infrastruktur dalam lima tahun terakhir. Hanya dengan begitu, pertumbuhan ekonomi pun bisa terakselerasi dengan cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×