Reporter: Nindita Nisditia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan, permasalahan inflasi saat ini muncul dari berbagai faktor, terutama kenaikan harga beras.
Menurut Chatib, gejolak harga komoditas pangan, khususnya beras, merupakan persoalan yang patut dikhawatirkan dalam mendorong kenaikan inflasi, dibandingkan dengan pengaruh dari kebijakan moneter.
Seperti diketahui, BI resmi mengumumkan kenaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin menjadi 6%.
Selain itu, pembatasan ekspor dari negara dengan konsentrasi produk agrikultur, energi, dan mineral seperti India dalam kaitannya dengan beras menurut Chatib juga turut memperparah kondisi, apalagi bersamaan dengan kenaikan harga minyak.
Baca Juga: Indonesia Tak Raih Dana Pandemi Pada Putaran Pertama, Ini Respons Kemenkeu
“Kalau BI ngak bisa address issue ini dari monetary policy, problemnya dari supply side, maka mau tidak mau solusinya harus datang dari fiskal dan juga dari perdagangan,” kata Chatib dalam kegiatan BNI Investor Daily Summit 2023, Selasa (24/10).
Dengan demikian, menurut Chatib pemerintah harus mengantisipasi kenaikan inflasi ini dengan perlindungan kepada kelompok rentan terhadap kenaikan harga makanan, khususnya beras.
“Saya tidak khawatir kenaikan BBM, yang saya khawatirkan adalah kenaikan harga beras, karena itu sangat sensitif secara politik,” ujar Chatib.
Permasalahan lainnya menurut penemuan Chatib adalah sifat kebijakan fiskal di Indonesia yang procyclical terhadap harga minyak dan harga komoditas.
“Ketika harga komoditas naik, harga energinya naik, saat yang sama burden dari subsidinya itu mengalami peningkatan, kecuali kalau pemerintah itu mau naikin harga BBM, jadi less likely ini beberapa bulan sebelum pemilu,” katanya.
Baca Juga: Perkuat OJK, Dewan Komisioner Ditambah
Chatib berpendapat, masih ada ruang untuk meningkatkan alokasi budget untuk subsidi pangan karena sampai bulan Agustus 2023, realisasi Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) tercatat masih surplus.
“Kalau BBM-nya tetap di subsidi, maka implikasinya pada current account karena harga BBM-nya murah, impornya terus naik, maka defisitnya akan naik, maka exchange rate nya akan kena, jadi ini situasi yang sangat kompleks sebelumnya,” imbuh Chatib
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News