Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kesempatan untuk mengoreksi kembali sejumlah kelemahan maupun pasal kontroversial yang tertuang dalam Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Pada Kamis (25/11), dalam sidang putusan judicial review UU Cpta Kerja, Majelis Hakim MK menyatakan, penyusunan UU Cipta Kerja cacat formil karena mengabaikan prosedur ideal penyusunan UU. MK pun menitahkan pemerintah dan DPR segera memperbaikinya dalam dua tahun usai putusan ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan, ada beberapa hal yang mendesak untuk diperbaiki dari UU Cipta Kerja ini, karena proses pembuatan klasternya yang terburu-buru dan kurang inklusif.
Baca Juga: KSPI sebut revisi UU P3 harus dilakukan sebelum perbaikan UU Cipta Kerja
Menurutnya, beberapa hal yang harus dirubah total secara materi maupun formil terkait pengupahan. “Ini mendesak sekali karena berpengaruh ke formula upah minimum yang terlalu kecil pada 2022,” kata Bhima kepada Kontan, Jumat (26/11).
Formula upah minimum ini menurutnya merugikan pekerja, karena penetapan upah minimum di tahun 2022 hanya naik 1,09%. Sementara itu, Bhima menaksir apabila menggunakan PP 78/2015 kenaikannya bisa mencapai 5,17%.
Ia juga menambahkan, persoalan batas atas dan bawah upah minimum menjadi hal yang lucu dan perlu dihapuskan. Selain itu, masalah upah per jam, penghapusan aturan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan besaran pesangon juga harus menjadi perhatian. “Kemudian klaster perizinan yang cenderung mengabaikan dampak terhadap lingkungan hidup urgen untuk direvisi,” jelasnya.
Ke depan, Bhima menyebutkan, masalah penetapan upah dan regulasi ketenagakerjaan ini akan memperburuk hubungan industrial di level perusahaan dan akan rentan mengganggu produktivitas pekerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News