kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Batasan saldo akses pajak dinilai terlalu kecil


Rabu, 07 Juni 2017 / 07:29 WIB
Batasan saldo akses pajak dinilai terlalu kecil


Reporter: Adinda Ade Mustami, Elisabeth Adventa, Galvan Yudistira, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Batasan saldo rekening keuangan yang wajib di laporkan ke otoritas pajak menuai kontroversi. Nilai saldo minimal rekening perbankan sebesar Rp 200 juta dianggap terlalu rendah. Nilai itu secara psikologis mengesankan pemerintah lebih menyasar pajak masyarakat kelas menengah, bukan wajib pajak kaya pengemplang pajak.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysisi (CITA) Yustinus Prastowo menilai batasan yang ditetapkan pemerintah dalam PMK No 70/2017 terlalu rendah. Dengan batasan tersebut, rekening yang bakal wajib lapor pajak bakal melebihi 2,3 juta (lihat tabel).

Apalagi PMK 70/2017 menyebutkan, saldo atau nilai rekening keuangan yang menjadi batasan pelaporan pajak merupakan nilai agregat. Dengan begitu maka bila satu orang punya banyak rekening, maka jumlah saldonya akan dijumlahkan. Bila nantinya nilainya mencapai Rp 200 juta, maka menjadi wajib lapor.

Batasan nilai pertanggungan di industri asuransi sebesar Rp 200 juta juga terlalu kecil. Dengan nilai itu, maka premi hanya ratusan ribu rupiah per bulan juga akan wajib lapor secara otomatis. Data dari asuransi ini juga tidak menunjukkan daya beli masyarakat.

Yustinus khawatir, dengan batasan yang terlalu rendah maka pemerintah terlalu banyak mengelola data terlalu banyak sehingga tidak fokus pada target sasaran. "Jangan sampai ada kesan mau bangun database tapi semuanya dijaring. Ongkos administrasi juga jadi mahal," tambahnya.

Oleh karena itu, menurutnya, batasan saldo rekening perorangan sebesar Rp 500 juta-Rp 1 miliar menjadi batas bawah yang lebih moderat. Selain bentuk pelaporan bukan juga berdasarkan saldo akhir tahun, tapi rata-rata bulanan. "Ini untuk mengantisipasi modus sebelum 31 Desember, dana di rekening ditarik," katanya.

Nilai moderat

Seperti diketahui, batasan saldo tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017. Ini merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, penetapan batasan saldo minimal Rp 200 juta telah mempertimbangkan asas kepatuhan pajak. Menurutnya masyarakat dengan saldo di bawah Rp 200 juta dianggap telah membayar pajak penghasilan. "Jadi sebetulnya bukan mencari-cari pajak, tetapi untuk sign memberikan compliance. Masyarakat tidak perlu khawatir," kata Sri di DPR, Selasa (6/6).

Namun menurutnya, informasi dari rekening itu tetap penting bagi kantor pajak. Ini untuk mendapatkan data keseluruhan potensi perpajakan, baik dari sisi pembayar pajak hingga dari sisi aset. "Jadi, informasinya lebih kepada untuk melihat seluruh struktur perekonomian Indonesia," tambah Menkeu.

Sri Mulyani juga memastikan, tambahan data bagi kantor pajak atas laporan ini tak akan terlalu banyak. Pasalnya, pelaporan otomatis hanya setahun sekali. Lalu di industri perbankan, hanya ada 2,3 juta rekening yang bersaldo minimal Rp 200 juta per April 2017. Di pasar modal hanya ada 886.574 rekening efek per akhir 2016.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi juga menilai angka Rp 200 juta merupakan nilai yang moderat. "Seharusnya, pelaporan ini menyesuaikan penghasilan tidak kena pajak, yakni saldo minimal Rp 54 juta," ujar Ken.

Namun menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, agar fair maka seharusnya semua rekening wajib dilaporkan ke pajak. "Karena sekarang sudah saatnya administrasi dibenahi dan bayar pajak secara benar," katanya.

Dia juga menyarankan agar Ditjen Pajak tak gembar-gembor jika ingin memeriksa data nasabah. Apindo khawatir, jika kebanyakan omongan, malah akan menimbulkan kegaduhan yang bakal mengganggu iklim bisnis.

Sedangkan Hari Siaga, Sekretaris Perusahaan BRI berharap, keterbukaan informasi lembaga keuangan akan meningkatkan kualitas nasabah serta mencegah money laundrying. "Juga meningkatkan pendapatan negara melalui pajak," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×