Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Denyut nadi rupiah semakin melemah. Kemarin, pertama kali lebih dari satu dekade terakhir, kurs memasuki zona Rp 13.000 per dollar AS.
Kemarin, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah berakhir Rp 13.022 per dollar AS, melemah 0,22% dari awal Maret (2/3). Efek dari luar dituding sebagai biang keladi pelemahan rupiah. Posisi rupiah sekarang adalah terendah sejak era krisis moneter tahun 1998.
Gubernur BI Agus Martowardojo masih melihatnya bukan situasi darurat kendati rupiah sudah terjerembab 4,4% sejak awal tahun ini. Bahkan orang nomor satu di bank sentral ini masih menilai lumrah jika rupiah melemah hingga Rp 13.750 per dollar atau 10% dari asumsi kurs APBNP 2015 yang sebesar Rp 12.500 per dollar AS.
Sebelumnya (3/3), Agus bilang akan menjaga fluktuasi rupiah di kisaran 3%-5% dari patokan kurs APBNP 2015. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswasra menepis anggapan BI lepas tangan dan mendiamkan rupiah. "BI berada di pasar," kata Mirza kepada KONTAN, kemarin.
Dia berharap, masyarakat tak panik dan tidak berspekulasi. Lagi pula, penyebab kejatuhan rupiah kali ini lebih banyak dari faktor luar dan terjadi nyaris merata di seluruh dunia. BI juga berharap pemerintah melarang dollar AS dalam transaksi di dalam negeri serta menekan defisit transaksi berjalan.
"Selama defisit transaksi berjalan tidak berkurang, rupiah sulit menguat," kata Mirza. Sejauh ini, Menko Ekonomi Sofjan Djalil hanya berjanji akan menekan defisit transaksi berjalan di bawah 3%. Pelemahan rupiah memang selalu membawa manfaat dan mudarat.
Salah satu manfaatnya, daya saing produk ekspor Indonesia meningkat. Devisa pun bisa bertambah. Namun timbangan secara umum, mudaratnya lebih banyak. Pertama, investor bisa menunda agenda ekspansi karena biayanya mahal. Kedua, industri berbahan baku impor terpukul akibat biaya impor kian tinggi.
Misalnya, penerbangan dan farmasi. Pesawat terbang membeli avtur dengan dollar AS, sementara farmasi masih mengimpor bahan baku. "Mereka akan terganggu," kata Franky Sibarani, Kepala BKPM.
Ketiga, secara umum, daya beli masyarakat bisa turun. Maklum, ketergantungan Indonesia terhadap produk impor masih tinggi.
Keempat, kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Chris Kanter, utang valas dari luar negeri milik korporasi makin berisiko terutama yang tanpa hedging atau lindung nilai. BI dan pemerintah memang harus bahu membahu dan memberikan perhatian super serius pada rupiah. Sebab, efeknya riil kemana-mana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News