Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sengketa kepemilikan saham antara PT Aryaputra Teguharta dengan PT BFI Finance Tbk (BFIN) nampaknya belum berakhir dalam waktu dekat. Sementara sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) masih berlangsung, Aryaputra telah layangkan tiga gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Intinya gugatan kami ingin kembali menyatakan bahwa Aryaputra merupakan pemilik sah 32,32% saham di BFI. Sebagaimana putusan PK 240/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap," kata kuasa hukum Aryaputra Yuris Hakim Dalimunthe kepada Kontan.co.id di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/10).
Perkara Aryaputra dengan BFI sendiri dimulai sejak 1999 ihwal gadai saham BFI milik Aryaputra yang kemudian dialihkan oleh BFI. Nah, dari lajur hukum, sengketa sebenarnya usai melalui putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung 240/2006. Dalam putusan BFI bersama pihak lain sejatinya telah resmi menyandang status sebagai naraperdata atawa tergugat yang telah dihukum dengan putusan berkekuatan tetap.
Mereka dihukum, misalnya untuk mengembalikan saham yang sebelumnya digadai, memberikan dividen sejak digadaikan, hingga membayar uang paksa (dwangsom) guna segera melaksanakan putusan.
Nah gugatan pertama diajukan Aryaputra terkait dwangsom, lantaran putusan belum dilaksanakan BFI dan naraperdata lainnya. Gugatan terdaftar dengan nomor 521/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst pada 19 September 2018. Dalam petitum, Aryaputra minta dwangsom yang jika dihitung hingga tanggal gugatan terdaftar mencapai Rp 80,36 miliar.
"Dihitung sejak tanggal aanmaning (peringatan) PK 240/2006, kalau tidak salah itu September, sampai tanggal gugatan terdaftar. Karena sampai sekarang belum ada dwangsom yang dibayarkan sama sekali," papar Yuris.
Sementara gugatan kedua, diajukan terkait dividen yang tak juga tak pernah diterima Aryaputra. Gugatan terdaftar dengan nomor perkara 527/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst pada 24 September 2018.
Dari gugatan ini, Aryaputra meminta ganti rugi senilai total Rp 1,27 triliun. Perinciannya, Rp 644,81 miliar sebagai dividen yang tak diterima sejak 2002-2017, Rp 133,93 miliar sebagai akumulasi bunga 6%, dan senilai Rp 500 miliar sebagai kerugian imaterial.
Menanggapi dua gugatan Aryaputra Kuasa Hukum BFI Anthony Hutapea dari Kantor Hukum Anthony L.P. Hutapea & Partners bilang, PK 240/2006 tak bisa dieksekusi.
"Sehingga semua isi putusan juga tak bisa dilakukan. Ketetapan soal non executable ini pun, dikeluarkan pengadilan tak lama setelah putusan PK," jelas Anthony saat dihubungi KONTAN, Rabu (10/10).
Makanya, tambah Anthony, pembayaran dwangsom, dividen sebagaimana putusan juga tak bisa diberikan dari BFI.
Lagipula, ia menambahkan peralihan saham Aryaputra oleh BFI sejatinya juga sesuai prosedur hukum, yaitu pengesahan perdamaian alias homologasi dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dijalankan BFI.
Asal tahu, peralihan saham Aryaputra memang terjadi ketika BFI terjerat PKPU. Nah guna merestrukturisasi, utang-utang kreditur kemudian dikonversi menjadi saham-saham BFI. Soal skema ini pun, sudah melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dimana Aryaputra sebagai pemegang saham sebelumnya menyetujui.
Sementara gugatan ketiga, terkait aksi korporasi yang hendak dilakukan pengendali BFI, Konsorsium Trinugraha Capital. Trinugraha diketahui mengempit 6.835.249.660 saham atau sebanyak 42,80% saham BFI.
3 Agustus 2018, Trinugraha menandatangani penjualan saham BFI miliknya kepada dua perusahaan asing. 2.977.912.340 saham kepada Compass Banca SpA, dan 1.646.000.000 saham kepada Star Finance S.R.L.
"Kalau soal yang ini nanti saja penjelasannya," kata Yuris.
Sementara Direktur Komunikasi Mediabanca Stefano Tassone dalam jawaban tertulisnya kepada KONTAN enggan memberikan komentar terkait sengketa ini. Mediabanca sendiri merupakan induk dari Compass dengan kepemilikan 100%.
"Mengenai informasi dalam surel anda, kami tidak berkomentar," balas surel Tassone kepada KONTAN, Senin (8/10).
Sementara gugatan terdaftar dengan nomor perkara 545/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst pada 2 Oktober 2018 lalu. Dalam petitumnya, Aryaputra meminta para tergugat untuk mengganti kerugian material senilai Rp 3,30 triliun, dan kerugian imaterial senilai Rp 5 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News