Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia dengan Korea Selatan sudah melakukan kerja sama atau hubungan Bilateral selama 50 tahun. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bahkan mencatat total perdagangan kedua negara hingga September 2023 tercatat mencapai US$ 15,7 miliar.
Korea Selatan juga merupakan negara asal investasi terbesar ke-7 di tahun 2022 dengan nilai investasi total sebesar US$ 2,2 miliar yang terdiri dari 2.907 proyek dan untuk tahun 2023 hingga bulan September telah mencapai US$1,9 miliar serta mencakup 5.215 proyek.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyampaikan, hubungan perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan akan maksimal bila kedua negara tersebut memiliki hubungan atau konektivitas supply chain atau rantai pasok yang meningkat.
Baca Juga: Ini Kata Pengusaha Soal Rencana Pembatasan Angkutan Barang Saat Libur Nataru
Pasalnya, kata Shinta perdagangan Korea Selamat di Kawasan ASEAN didominasi oleh produk manufaktur setengah jadi dan juga komoditas mentah seperti batu bara, migas, tembaga, Crude Palm Oil (CPO), yang dibutuhkan oleh industri-industri yang lebih maju di Korea Selatan.
Sayangnya Shinta menyayangkan potensi pendalaman GVC (Global Value Chain) Indonesia-Korea Selatan belum maksimal. Ini karena Indonesia tidak memiliki industri yang mengolah barang setengah jadi yang kompetitif, jika dibandingkan negara lain di ASEAN.
“Misalnya yang lebih kuat dengan Korea seperti Vietnam dan Thailand yang memiliki relasi GVC lebih kuat dengan Korea dibandingkan Indonesia pada bidang industri manufaktur elektronik dan automotive,” tutur Shinta kepada Kontan.co.id, Rabu (12/12).
Menurutnya langkah yang bisa diambil Indonesia dalam jangka pendek ialah menggenjot ekspor komoditas seperti batu bara, tembaga, CPO, produk perikanan budidaya, kopi, teh, buah tropis dan lainnya ke Korea Selatan.
Sementara itu, untuk ekspor produk yang memiliki nilai tambah, Indonesia bisa menggenjot ekspor seperti besi dan baja, ammonia atau pupuk, produk olahan kelapa seperti minyak kelapa, briket.
Kemudian mengekspor sepatu, plywood atau produk perkayuan olahan lain untuk lantai, fatty acid dan turunan CPO lainnya untuk bahan baku makanan atau kosmetik, produk kertas & plastik, khususnya yang memiliki standar kualitas makanan internasional.
Di luar itu, lanjut Shinta, Indonesia juga bisa memanfaatkan pembentukan GVC dengan Korea Selatan di sektor ekosistem Electric Vehicle (EV). Bukan hanya baterai atau manufaktur EV saja tetapi juga pada aspek daur ulang baterai EV.
Baca Juga: Siap-Siap! Setoran Pajak Daerah Ikut Moncer Berkat Pemilu dan Nataru
“kerja sama suppy chain untuk penciptaan semikonduktor, dan lainnya yang memerlukan komoditas yang diagendakan hilirisasinya di Indonesia,” tambahnya.
Meski begitu, Ia menambahkan dengan adanya Kerja sama GVC dan mengekspor produk yang potensial tersebut, tentunya diperlukan intervensi di dalam negeri untuk memperbaiki daya saing, khususnya perbaikan efisiensi produksi di industri manufaktur barang setengah jadi.
Perbaikan kualitas dan standar produk juga harus disesuaikan dengan standar Korea Selatan, serta kapasitas produksi juga harus ditingkatkan, agar kegiatan daya serap ekspor dan pertumbuhan kinerja ekspor yang lebih baik kepada Korea Selatan.
“Jadi di dalam negeri kita juga harus terus melakukan reformasi struktural terhadap efisiensi iklim usaha atau investasi, dan perbaikan fasilitas, serta pendampingan yang berorientasi ekspor,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News