kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apakah sepeda masuk dalam objek pajak? Ini kata pengamat


Minggu, 28 Februari 2021 / 19:38 WIB
Apakah sepeda masuk dalam objek pajak? Ini kata pengamat
ILUSTRASI. Apakah sepeda masuk dalam obyek pajak? Ini kata pengamat


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyampaikan akun Instagram @ditjenpajakri baru-baru ini menyatakan bahwa sepeda sebagai harta yang harus dilaporkan di dalam surat pemberitahuan (SPT) Tahunan orang pribadi dengan kode 041. 

Menurutnya informasi tambahan yang minim tentang hal tersebut berimbas pada banyak respons dan pertanyaan di masyarakat. Di antara respons tersebut, banyak kalangan masyarakat yang mempertanyakan apakah sepeda masuk ke dalam jenis objek pajak yang baru atau dikenai pajak baru.

Priatno menjelaskan bahwa sepeda bukan merupakan objek baru dari sekian banyak objek pajak yang sudah ada. Tidak ada pajak baru juga untuk sepeda. “Sepeda tidak akan dikenai pajak, tapi sumber penghasilan untuk beli sepeda itu menjadi isu utamanya,” kata Priato dalam keterangan resminya, Minggu (28/2).

Kata dia, secara sederhana, kalau hanya disebutkan pajak, ini tentu dapat membingungkan masyarakat. Pasalnya, Indonesia saat ini sudah punya 24 jenis pajak. Ada 5 pajak dikelola oleh Ditjen Pajak. Ditjen Bea Cukai kelola 3 jenis pajak. Ada 5 macam pajak di pemerintah provinsi dan 11 jenis pajak di pemerintah kabupaten/kota.

Baca Juga: Pesan Ditjen Pajak: Silakan laporkan sepeda dalam SPT tahunan, kode harta 041

Isu sepeda dilaporkan di SPT Tahunan itu berkaitan dengan satu jenis pajak yang dikelola Ditjen Pajak, yaitu Pajak Penghasilan atau PPh. Jadi, penghasilan yang dapat dikenai PPh itu berupa tambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 

Priatno bilang rumus sederhananya adalah penghasilan = konsumsi + tambahan harta. Artinya, penghasilan itu dapat dipakai untuk konsumsi maupun menambah harta kekayaan. “Nah, sepeda itu merupakan satu bentuk harta kekayaan sehingga Ditjen Pajak berkepentingan terhadap apakah penghasilan untuk beli sepeda itu sudah dilaporkan di SPT PPh orang pribadi,” ujar dia. 

Kalaupun tidak berwujud tunai, penghasilan orang pribadi juga dapat berupa non-tunai. Misalnya, pemberian hadiah atau sumbangan dari pihak lainnya. Imbalan non-tunai itu juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penemanya. Jika penghasilan untuk beli sepeda tersebut berasal dari warisan, penerima waris juga harus melaporkan warisan tersebut sebagai penghasilan di SPT. 

Selanjutnya, sesuai undang-undang PPh, Ditjen Pajak dapat menentukan apakah semua penghasilan sudah dilaporkan ke dalam SPT. Selain itu, kantor pajak juga dapat menentukan penghasilan mana saja yang harus dipajaki atau tidak perlu kena pajak.

Menurut Priatno, posting-an Ditjen Pajak tersebut tidak terlepas dari upaya pengawasan berdasarkan Compliance Risk Management (CRM). Kantor pajak mengawasi siapapun yang berpotensi tidak patuh pajak dengan cara pemberian himbauan dulu. Dari data-data yang kantor pajak punya, petugas pajak akan melakukan analisis risiko. Untuk kasus sepeda, contohnya diilustrasikan di bawah ini. 

Baca Juga: PPh bunga obligasi jadi 10%, sejumlah pihak menilai berisiko dan tidak menguntungkan

Misalnya, Budi (bukan nama sebenarnya) memiliki gaji Rp 5 juta per bulan. Jika disetahunkan, total penghasilan Budi sebesar Rp 60 juta. Biaya hidup rata-rata per bulan Budi sebesar Rp 4 juta sebulan sehingga Budi bisa menabung Rp 1 juta. Ketika Budi melaporkan sepeda Brompton seharga Rp 50 juta di SPT, total penghasilan Budi (Rp 60 juta) tidak sebanding dengan konsumsi rata-rata setahun plus tambahan harta sepeda. 




TERBARU

[X]
×