kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Alokasi belanja belanja PNS terus meningkat


Kamis, 11 September 2014 / 18:33 WIB
Alokasi belanja belanja PNS terus meningkat
ILUSTRASI. Anime Boruto Part 1 Hiatus Sampai Kapan? Naruto Episode Spesial Telah Disiapkan


Reporter: Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Ibarat perusahaan, alokasi anggaran yang terlalu besar untuk membayar gaji pegawai bisa bikin runyam. Alih-alih berekspansi, perusahaan malah bisa bangkrut lantaran terbebani biaya pegawai. Demikian pula anggaran pemerintah kita bisa tekor jika bujet gaji pegawai terus membengkak.

Sebagai abdi negara, gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) tentu menjadi tanggungan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Karena itu, selain mempertimbangkan kebutuhan pegawai, rekrutmen PNS juga mempertimbangkan alokasi anggaran pemerintah. “Untuk menetapkan jumlah formasi, kami selalu koordinasi dengan Kementerian Keuangan,” kata Arizal, Asisten Deputi Pengadaan SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi (PAN-RB).

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, penambahan PNS tahun ini tidak akan membikin belanja pegawai tahun depan membengkak. Sebab, pemerintah menggunakan sistem kebijakan zero growth. Artinya, penambahan formasi dihitung berdasarkan jumlah PNS yang pensiun, sehingga jumlah pegawai tidak bertambah. Jadi, “Yang keluar dan masuk sama,” ujarnya.

Meski begitu, alokasi belanja pegawai dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tiap tahun memang selalu naik. Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, bilang, tahun 2015 pemerintah berencana mengalokasikan belanja pegawai sebesar Rp 292 triliun. Jumlah tersebut naik 11% ketimbang alokasi belanja pegawai di APBN Perubahan (APBN-P) 2014 sebanyak Rp 262,98 triliun. Selain lantaran kenaikan pangkat otomatis sebagian PNS, peningkatan belanja pegawai tahun depan karena kenaikan gaji dan pensiunan PNS.

Obral renumerasi

Memang, saat menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2015 di DPR pertengahan bulan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menjanjikan kenaikan gaji pokok PNS, anggota Polri dan TNI tahun depan sebesar 6%. Selain itu, para pensiunan pegawai negeri juga bakal menikmati kenaikan pensiun pokok sebesar 4%. Dari rencana belanja pegawai sebesar Rp 292 triliun tahun depan, biaya untuk pembayaran pensiun PNS mencapai Rp 92 triliun.

Presiden SBY tergolong rajin mengerek gaji pokok PNS dan pensiun pokok pensiunan. Selain itu, SBY juga gemar memberikan remunerasi yang membuat gaji PNS naik berlipat-lipat di berbagai instansi. Tahun 2009 lalu, hanya lima instansi yang memperoleh remunerasi. Saat ini, ada 63 kementerian dan lembaga yang menikmati renumerasi. Tak heran, alokasi belanja pegawai pemerintah pusat terus meningkat setiap tahun. Padahal, pertumbuhan jumlah PNS, baik pusat maupun daerah, sejak tahun 2010 tercatat menurun. Penyebabnya, pemerintah mengadakan moratorium penerimaan PNS tahun 2011 dan 2012. Toh, penghentian sementara penerimaan PNS tidak mampu mengerem laju kenaikan belanja pegawai. Dalam lima tahun terakhir, periode 2009 hingga 2013, belanja pegawai pemerintah pusat naik drastis, 73,65%.

Walau belanja pegawai terus naik, persentase belanja pegawai terhadap total belanja pemerintah pusat, sih, tercatat menurun. Tahun 2009, persentase belanja pegawai terhadap total belanja pemerintah pusat mencapai 20,3%. Sementara tahun 2013, persentasenya sedikit mengecil menjadi 19,76%. Meski begitu, alokasi belanja pegawai pemerintah pusat tetap lebih besar ketimbang belanja modal yang digunakan untuk membiayai pembangunan. Itu berarti, duit pemerintah lebih banyak dinikmati oleh PNS ketimbang masyarakat luas.

Pemerintah bukannya tak menyadari masalah belanja pegawai yang terus meningkat. Karena itu, Askolani menyatakan, Kementerian Keuangan telah meminta penambahan PNS dibatasi. Kementerian Keuangan juga mewanti-wanti, jangan ada pengembangan organisasi baru. Sebisa mungkin, birokrasi lebih ramping dan efi sien. Malah, idealnya jumlah PNS dikurangi khususnya yang sudah tidak produktif. “Tapi, tidak mudah karena harus menyiapkan pesangon yang jumlahnya sangat signifikan,” katanya.

Problemnya, bukan cuma pemerintah pusat yang boros belanja pegawai. Lebih parah lagi, dana perimbangan dalam belanja negara yang mengalir ke daerah ternyata juga banyak dipakai untuk membayar gaji dan tunjangan PNS di daerah. Seperti diketahui, banyak daerah yang masih bergantung pada dana transfer dari pusat untuk membiayai anggaran mereka karena minimnya pendapatan asli daerah (PAD). Sayang, sebagian besar dana pemerintah daerah di anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) justru tersedot untuk mengongkosi belanja pegawai.

Secara rata-rata, persentase belanja pegawai di daerah tahun 2013 mencapai 42% dari total belanja daerah. Namun, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mencatat, ada lima provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50 %, yakni Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Sumatra Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belanja pegawai di daerah juga terus naik tiap tahun. Pada 2009–2013, total belanja pegawai di semua daerah rata-rata meningkat 13,2% tiap tahun. Pemerintah tentu sangat menyadari kondisi ini. Chatib bilang, rasio belanja pegawai yang besar di daerah sudah tidak sehat. Makanya, pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.Dengan adanya beleid ini, kelak pemerintah pusat bisa mengatur alokasi belanja pegawai di pemerintah daerah.

Nah, biar belanja pegawai pemerintah daerah tidak kian membengkak, Kementerian PAN-RB juga mempertimbangkan rasio belanja pegawai dalam memberikan alokasi formasi CPNS untuk instansi daerah. Menurut Arizal, Kementerian PAN-RB tidak akan mengeluarkan persetujuan tambahan PNS bagi daerah yang punya rasio belanja pegawai lebih dari 50% terhadap total belanja daerah. “Untuk formasi tertentu seperti guru masih bisa diberikan karena tidak boleh terjadi kekurangan guru,” ujar Arizal.

Ongkos tukang

Masalahnya, beberapa daerah sebetulnya tidak benar-benar mengalami kekurangan guru. Yang terjadi, tenaga pendidik terkonsentrasi di kota. Sementara kebutuhan guru untuk wilayah pelosok sering tidak mencukupi. Itu sebabnya, pemerintah daerah semestinya juga bisa melakukan redistribusi PNS ke instansi atau wilayah yang membutuhkan. Sehingga, daerah tidak selalu meminta penambahan pegawai.

Meski begitu, tidak semua daerah memiliki rasio belanja pegawai yang besar. Alih-alih menaikkan rasio belanja pegawai, beberapa daerah memilih memperbesar rasio belanja modal. Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, contohnya, dalam beberapa tahun terakhir berupaya menurunkan rasio belanja pegawai. Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, menuturkan, saat mulai menjabat pada 2008, persentase belanja pegawai terhadap total belanja Kabupaten Bantaeng mencapai 72%. Lima tahun kemudian, ia berhasil menurunkan rasio belanja pegawai menjadi 49%. Sedangkan 51% sisanya dialokasikan untuk pembangunan.

Nurdin menyadari, rasio belanja pegawai yang besar merupakan biang keladi Kabupaten Bantaeng tidak bisa maju. Kondisi infrastruktur buruk, sementara beban gaji PNS sangat tinggi. Karena itu, meski tahun ini ada 55 PNS yang pensiun, Nurdin hanya akan menambah pegawai kurang dari 50 orang. Jumlah PNS yang ada saat ini harus dioptimalkan lebih dulu. Misalnya, pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan lima orang kini hanya dilakoni satu orang pegawai. “Kami lebih ingin meningkatkan kualitas pelayanan sehingga ekonomi kami bisa tumbuh,” kata Nurdin.

Menurut Agung Phambudi, Wakil Ketua Dewan Pengurus Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), belanja pegawai yang terlalu besar di daerah ibarat ongkos tukang lebih besar ketimbang biaya pembangunan. Dan, hal ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai imbauan tampaknya masih belum berhasil mendorong pemerintah daerah mengurangi belanja pegawai mereka.

Karena itu, Agung menyarankan, daerah harus dipaksa untuk mengalokasikan belanja pegawai maksimal 30% dari total belanja daerah. Selebihnya dipakai sebagai belanja modal untuk mendanai pembangunan daerah. Agar efektif, pemerintah pusat harus membikin mekanisme sanksi, seperti penundaan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). “Pemerintah pusat harus serius mengatur karena sebagian besar dana daerah berasal dari pusat,” kata Agung.

Ya, sebagai pembayar pajak, masyarakat tentu lebih menginginkan duit APBN untuk pembangunan sehingga bisa dinikmati seluruh rakyat.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 49 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×