Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
JAKARTA. Mantan menteri keuangan (1968-1983) dan mantan menteri koordinator ekonomi, industri dan pengawasan pembangunan (1983-1988) Prof Ali Wardhana meninggal dunia Senin kemarin (14/9) dalam usia 87 tahun. Arsitek ekonomi Orde Baru ini memiliki cukup kedekatan dengan para dosen dan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tempat Ali mengajar ilmu ekonomi sebelum dan setelah menjadi teknokrat.
Berikut ini penuturan Berly Martawardaya, ekonom yang juga seorang dosen FEUI tentang pengalamannya dengan Ali Wardhana. Salah satu pesan yang masih terngiang di telinga Berly adalah pesan almarhum bahwa kemakmuran yang dinikmati Indonesia berasal dari kerja keras, bukan kebetulan dan harus di jaga dengan serius. Penuturan ini dikirimkan kepada KONTAN, hari ini (5/9).
Kemarin sore tiba-tiba masuk pesan di berbagai WhatsApp group alumni dan dosen FEUI bahwa Prof Dr Ali Wardhana telah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Para anggota group langsung mendoakan dengan tulus dan mengungkapkan berbagai kisah interaksi dengan beliau.
Umur dan angkatan saya tarpaut jauh dengan Pak Ali. Beliau dua puluh tahun menjadi menteri bidang ekonomi (1968-1988). Di tahun 1988 menjadi tahun terakhir beliau menjabat menteri, saya masih kelas 1 SMP dan belum tertarik ke kebijakan ekonomi.
Ketika beliau berhenti menjabat Dekan FEUI selama 1967-1978, saya bahkan belum masuk TK. Sehingga saat saya masuk menjadi mahasiswa di FEUI tahun 1995, beliau sudah pensiun dan tidak mengajar program S1. Pak Ali sesekali disebut para dosen di kelas sebagai guru mereka dan menjadikan kebijakannya selama menjabat sebagai bahan kuliah. Perdebatan di media underground dan berbagai kelompok studi juga kerap menyebut nama Pak Ali. Tapi sosok in person-nya hanya saya lihat sekilas pada acara peringatan 50 tahun FEUI pada bulan pertama sebagai mahasiwa baru.
Pak Ali bagai legenda yang berjarak tapi terus membayangi masa kuliah. Ketika pergerakan Reformasi 98 memanas, beliau juga tidak bersedia datang pada undangan diskusi bersama mahasiswa. Padahal pengalaman Pak Ali mengerem inflasi dari 650 % di tahun 1967 menjadi 10 % di 1969 sangatlah relevan. Di tengah penolakan terhadap KKN pada masa itu, tidak banyak yang ingat bahwa Pak Ali membasmi korupsi di Bea Cukai dengan men-subcon pengecekan barang impor pada perusahaan SGS dari Swiss di tahun 1985. Jauh sebelum sub-con pada Negara Asia menjadi trend di kalangan perusahaan besar Barat.
Diskusi dengan Pak Aii baru terwujud ketika sudah lulus S1 dan sedang persiapan menempuh S2 di Eropa sambil menjadi asisten dosen Dr M Ichsan yang ketika itu menjabat sebagai kepala LPEM- FEUI, beberapa semaster. Saya mendapat beasiswa dan perlu mengejar sekolah yang tinggi ranking-nya di luar negeri. Mas Ichsan menelpon Pak Ali untuk meminta kesediaan beliau memberikan rekomendasi.
Ketika diberitahu untuk ke rumah beliau di Patra Kuningan, saya menduga hanya akan bertemu dengan staf rumah tangga Pak Ali untuk mengambil surat rekomendasi tersebut.
Tapi ternyata Pak Ali menyambut dengan hangat dan bersedia berdiskusi cukup lama, lebih dari sejam, dengan seorang fresh graduate yang hanya asisten dosen biasa. Beliau memaparkan pengalaman selama menjabat, di pemerintahan, harapannya bagi FEUI dan beberapa pemikiran tentang perekonomian Indonesia. Beliau juga menceritakan pengalaman selama kuliah di luar negeri dan memberikan beberapa saran-saran.
Saya meninggalkan rumah Pak Ali dengan semangat dan pemahaman baru. Bahwa kemakmuran yang akan dinikmati dan telah dinikmati rakyat Indonesia berasal dari kerja keras, bukan kebetulan, dan harus di jaga dengan serius. Siapapun presiden dan pemerintahnya, para ekonom berperan untuk menganalisa kondisi dengan data serta teori yang paling sesuai untuk memberikan rekomendasi kebijakan demi merawat Indonesia.
Tapi paling penting, saya jadi menyadari urgensi membaca potensi dan mendukung ekonom generasi berikut. Jika Pak Ali yang sudah demikian senior, melegenda dan meraih berbagai posisi tinggi dapat menyempatkan waktu lapangkan jalan untuk junior dan (cucu) murid-nya, siapalah saya untuk sok sibuk dan egois. Rupanya keseriusan melakukan kaderisasi adalah rahasia peran nyata alumni FEUI berbagai institusi pemerintah dan swasta.
Alhamdulillah ketika Pak Ali menerima Penghargaan Wirakarya Adhitama (Lifetime Achievement Award) dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan Ikatan Lulusan Universitas Indonesia (ILUNI) FEUI tahun 2014, saya sempat mencuri waktu sejenak dan ucapkan terimakasih secara langsung atas bantuan dan inspirasi dari beliau. Moga-moga selama ini teladan Pak Ali menjadi teladan kita untuk mendukung generasi ekonom mendatang. Ekonom yang tangguh bisa menghasilkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat, tapi hanya begawan ekonom yang juga pendidik bijak bisa menghasilkan ratusan, bahkan ribuan, penerus untuk tetap mengawal pembangunan Indonesia. Selamat jalan sang Pendidik, obor ini sekarang di tangan generasi kami untuk tetap dinyalakan (The torch is now in the hand our generation to keep it flamed).
Berly Martawardaya
Alumni dan Dosen FEUI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News