kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Akademisi nilai RUU Energi Baru Terbarukan tidak dorong kemandirian energi


Senin, 02 Agustus 2021 / 20:00 WIB
Akademisi nilai RUU Energi Baru Terbarukan tidak dorong kemandirian energi
ILUSTRASI. Akademisi nilai RUU energi baru terbarukan tidak dorong kemandirian energi


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dikhawatirkan tidak mendorong kemandirian energi nasional. Bahkan, RUU itu berpeluang menghasilkan berbagai beban dan masalah bagi negara.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor,  RUU EBT yang tengah dibahas di DPR berpeluang mengulangi kondisi seperti UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

"UU Migas melanggar konstitusi sehingga dibatalkan. Dampaknya, ada krisis regulasi migas sampai sekarang. Jangan sampai RUU EBT mengalami hal serupa,” ujarnya dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, Senin (2/8/2021).

Pembuatan setiap UU seharusnya dilandasi semangat meningkatkan kedaulatan dan kemandirian nasional. Sayangnya, RUU EBT mencerminkan semangat mendukung impor dan memfasilitasi oligarki. "Detail sekali untuk fasilitasi kepentingan," kata dia.

Baca Juga: Investasi energi baru terbarukan (EBT) berpeluang meningkat, berikut pendorongnya

Ia antara lain melihat pasal 40 pada RUU EBT yang mewajibkan PLN membeli listrik EBT dari pembangkit swasta. Kewajiban itu tidak menimbang kebutuhan PLN dan listrik nasional. Hal itu bisa membebani PLN dan di sisi lain  menjamin investasi para pelaku EBT.

Mukthasor juga menyoroti pasal 51 yang mengatur soal feed-in tariff. Ada beberapa masalah dari aturan itu. Pertama, aturan itu bisa membengkakkan subsidi. 

"Aturan itu mengasumsikan negara punya uang untuk menutup selisih produksi listrik PLN dan EBT. Kalau memang uangnya ada, kenapa tidak dipakai untuk menguatkan PLN atau industri nasional?" ujarnya.

Kedua,  Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan tidak ada feed-in tariff. Jika RUU EBT tetap memasukkan klausul itu, maka RUU itu tersebut berpotensi melanggar rekomendasi KPK dan hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Baca Juga: Kementerian ESDM sebut pembahasan revisi UU Migas terus dilakukan

Ketiga, klausul itu mirip ketentuan Take of Pay (ToP) yang kini diberlakukan untuk IPP swasta.  Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. 



TERBARU

[X]
×