Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk segera mencabut status tersangka Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (JP), Meidyatama Suryodiningrat, dalam kasus dugaan tindak pidana penistaan agama. AJI juga meminta kasus ini dihentikan karena telah diselesaikan di Dewan Pers.
Menurut AJI, keputusan kepolisian menetapkan tersangka tersebut tindakan yang dapat mengancam kebebasan pers yang telah dijamin di Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 4 Undang-Undang Pers menyatakan, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Pasal 6 juga mengatur pers nasional melaksanakan peranannya dengan cara melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pasal 8 dengan jelas menyatakan bahwa,” Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Pemuatan karikatur ISIS di Jakarta Post pada 3 Juli 2014 merupakan kritik terhadap kelompok radikal ISIS yang memanipulasi ajaran Islam untuk melegitimasi kekerasan dan teror yang mereka lakukan di Irak dan Suriah.
Jakarta Post hendak mengkritik tindakan ISIS seperti membunuh anak-anak, perempuan, dan orang yang berbeda paham dan keyakinan dengan mereka sebagai tindakan yang bertentang dengan nilai-nilai ajaran Islam dan nilai-nilai kemanusian universal.
Rupanya, di Indonesia sejumlah orang juga mendukung dan bahkan berbait ke ISIS. Konteks itulah yang membuat karikatur ISIS itu relevan untuk mengingatkan bahwa kelompok tersebut berpotensi mengganggu dan berbahaya bagi keamanan negara dan masyarakat.
"Jika pemuatan karikatur itu dianggap mengganggu kelompok Islam tertentu, pemuatan itu bukan termasuk tindak pidana yang layak dikriminalkan," ujar Umar Idris, Ketua AJI Jakarta dalam keterangannya, Jumat (12/12).
Dewan Pers pada 16 Juli 2014 juga telah menyatakan karikatur tersebut hanya melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena dianggap mengandung prasangka yang tidak baik terhadap agama Islam.
Jakarta Post juga telah melaksanakan keputusan Dewan Pers dengan meminta maaf atas pemuatan karikatur itu dua kali lewat edisi online dan koran, pada 7 dan 8 Juli 2014, dan menyatakan tidak akan mengulangi kesalahan serupa.
Jakarta Post bahkan sudah menarik karikatur tersebut. Permintaan maaf itu merespons desakan satu kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pemuatan karikatur tersebut.
Dengan permintaan maaf itu Dewan Pers menyatakan kasus itu telah diselesaikan. Dewan Pers juga memperingatkan Jakarta Post untuk lebih berhati-hati dan tidak lagi memuat karikatur yang dapat dianggap mengandung prasangka tidak baik terhadap kelompok dan agama tertentu.
"Dengan demikian, tindakan Jakarta Post sudah sesuai dengan Undang-Undang Pers dan bukan merupakan tindak pidana yang dapat terus diproses di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan," tegas Umar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News