Reporter: Abdul Basith | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan Indonesia (FKDKP) menuntut pencabutan Pajak Penambahan Nilai (PPN) 10% bagi komoditas kopi, teh, kakao, dan karet. Hal tersebut didorong setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 39 tahun 2016 pada Februari 2017. Putusan MK itu membatalkan penjelasan Undang-Undang (UU) PPN No. 42 tahun 2009 pasal 4A ayat (2) huruf b mengenai pembatasan barang kebutuhan pokok menjadi 11 komoditas yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Sebelumnya terdapat Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 tahun 2007 yang membebaskan PPN bagi produk pertanian/perkebunan/ kehutanan. Namun, peraturan tersebut dibatalkan melalui putusan MA No. 70P/2013 yang berlaku sejak Juli 2014 dan menyatakan bahwa hasil barang pertanian/perkebunan/kehutanan tidak lagi dianggap barang yang strategis.
"Pemerintah dapat menggunakan ini sebagai senjata penguatan hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan," ujar Aziz Pane Ketua Umum FKDKP dalam konferensi pers (18/7).
Sebanyak 85% hasil produksi keempat komoditas itu berasal dari perkebunan rakyat. Oleh karena itu dapat dinyatakan sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan. Selain itu keempat komoditas itu merupakan komoditas utama dalam ekspor Indonesia.
Melemahnya harga komoditas juga dianggap semakin menekan petani. Nasib petani kian miris dengan adanya PPN 10% yang dibebankan kepada mereka. PPN yang seharusnya dibayarkan oleh pembeli menjadi ditanggung petani karena harga yang semakin turun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News