kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada Subvarian XBB, Epidemiolog: Modal Imunitas Kita Baik


Senin, 31 Oktober 2022 / 17:21 WIB
Ada Subvarian XBB, Epidemiolog: Modal Imunitas Kita Baik
ILUSTRASI. Seberapa besar dampak varian Covid yang muncul akan bergantung pada berapa besar modal imunitas yang dimiliki masyarakat.KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ahli Kesehatan Lingkungan dan Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menyebut, berkaca pada gelombang varian Covid-19 yang sebelumnya terjadi, seberapa besar dampak varian yang muncul akan bergantung pada berapa besar modal imunitas yang dimiliki masyarakat.

Seperti munculnya subvarian Omicron XBB yang kini sudah masuk ke Indonesia. Dicky mengatakan, sejauh ini modal imunitas yang dimiliki masyarakat di Indonesia cukup baik. Baik itu imunitas yang berasal dari vaksinasi ataupun infeksi.

"Kita ini sudah banyak sekali bahkan mungkin cenderung dominan modal imunitas. Ini merupakan kombinasi antara orang yang terinfeksi dan vaksinasi. Ini yang tentu jadi bekal, walaupun ini bukan bagus dalam artian sudah terinfeksi itu bagus, tidak. Cuma, modal imunitas ini membuat dampak dari XBB ini akan cenderung tidak terlalu berdampak dalam konteks umum," kata Dicky kepada Kontan.co.id, Senin (31/10).

Baca Juga: Tetap Tenang dan Waspada Hadapi Covid Omicron XBB, Simak penjelasan Pakar UGM

Namun, subvarian XBB memiliki risiko bagi kelompok rawan yakni mereka yang belum divaksinasi seperti anak-anak, lansia hingga orang dengan komorbid. Oleh karenanya peningkatan vaksinasi terutama booster diperlukan dalam mengatasi varian tersebut.

"Risiko hanya pada kelompok rawan seperti anak, lansia dan komorbid atau belum booster," imbuhnya.

Meski memiliki kemampuan infeksi dan terinfeksi, subvarian Omicron XBB cenderung menimbulkan gejala yang ringan layaknya flu namun disertai dengan sakit yang luar biasa saat menelan.

Dicky menyebut angka kenaikan kasus karena subvarian XBB di Indonesia takkan setinggi seperti di negara lain. Pasalnya kemampuan surveilans di Indonesia saat ini masih tergolong lemah dan pasif.

Hal tersebut berbeda dengan dampak XBB di Eropa yang menyebabkan tingginya penambahan kasus, lantaran tingkat surveilans yang baik.

"Kemudian kalau kita lihat lagi di negara-negara Eropa angkanya bisa 100.000 sehari angka kasus infeksi. Hal yang sama tentu bisa terjadi di Indonesia, tapi ini nggak akan seperti itu, kita masih jauh kemampuan kita dalam surveilans dalam deteksi dini masih sangat jauh dibandingkan negara maju. Sehingga angka infeksinya kita paling ribuan," jelasnya.

Menurutnya di tengah musim hujan saat ini akan mempercepat dampak dari varian XBB, dimana kemungkinan bakal terjadi pada periode Desember-Januari.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, terjadi kenaikan kasus ditingkat global. Per 23 Oktober jumlah penambahan kasus positif dalam satu minggu di tingkat dunia mencapai 2,98 juta kasus.

Baca Juga: Subvarian XBB vs Omicron, Mana yang Fatalitasnya Lebih Parah? Ini Jawaban Kemenkes

Eropa khususnya di Jerman dan Perancis menjadi negara dengan jumlah kasus mingguan tertinggi lebih dari 500.000 dan 300.000 kasus baru dalam satu minggu. 
Adapun untuk Asia khususnya Jepang, Korea Selatan dan Singapura menjadi negara dengan jumlah kasus baru mingguan tertinggi dan sekaligus menjadi negara yang kasusnya tengah mengalami kenaikan.

Dalam dua minggu terakhir Jepang mengalami kenaikan 12%, sedangkan Korea Selatan naik 21% dan Singapura naik 34% kasus Covid-19. Kenaikan kasus diakibatkan munculnya subvarian XBB. Subvarian ini diprediksi akan menyebabkan kembalinya lonjakan kasus. 

Subvarian XBB meningkat jumlahnya secara signifikan di Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Denmark juga di beberapa negara Asia yaitu Singapura, Bangladesh, India dan Jepang.

"Berbagai ahli di Amerika Serikat dan juga WHO menyebutkan bahwa varian ini bisa memicu lonjakan kasus di akhir tahun dan puncaknya di bulan Januari. Namun belum ada bukti bahwa subvarian ini lebih berbahaya secara klinis dari varian atau subvarian sebelumnya," kaya Wiku.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mengumumkan ada empat kasus subvarian XBB. Dibandingkan beberapa negara lain di Asia, Wiku menyebut Indonesia masih menjadi negara dengan penambahan kasus minggu yang rendah yakni 14.000 kasus dalam seminggu.

Namun, kewaspadaan harus dilakukan mengingat dalam empat minggu terakhir terjadi kenaikan kasus positif mingguan sebesar 17% dan kasus aktif harian sebesar 11% dan kematian yang masih lebih dari 100 kematian setiap minggunya.

Adapun kenaikan kasus Indonesia belum dapat ditentukan apakah akibat dari subvarian XBB. Namun masyarakat dianjurkan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan dan melakukan perilaku hidup sehat dan bersih.

"Belum dapat disimpulkan subvarian XBB jadi penyebab kenaikan kasus. Masih belum ada bukti bahwa subvarian XBB secara klinis menimbulkan gejala yang lebih serius dibanding subvarian lainnya," imbuhnya.

Mengenai menuju endemi, dengan berhasilnya menekan kasus positif agar tetap rendah, menunjukkan bahwa Indonesia sudah separuh jalan menuju endemi. Meski demikian status pandemi tetap mengacu pada Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Kondisi pandemi di tingkat nasional dan internasional yang masih dinamis yang harus kita cermati bersama, pemerintah akan mencabut status kegawatdaruratan apabila kondisi nasional dan internasional membaik, namun tetap dengan prinsip kehati-hatian dan perencanaan yang matang," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×