Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan bentuk politisasi identitas. Tujuannya yakni untuk menundukkan Ahok.
"Kasus ini jelas digunakan sebagai alat penundukan dalam bentuk politisasi identitas Pak Basuki yang multiple identity, kemudian dieksploitasi sehingga bisa ditundukan dan secara kebetulan kemudian ada kasus yang menjerat dirinya," ujar Ismail di Kantor SETARA Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (11/5).
Akibat politisasi identitas tersebut, Ahok mengalami banyak tekanan. Salah satu dampak yang terlihat yakni kalahnya dia dan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Dampak elektoralnya kan sudah terlihat hasilnya bahwa Pak Basuki dikalahkan. Itu politisasi identitas jangka pendek dalam konteks Pilkada," kata dia.
Ismail mendorong praktik-praktik politisasi identitas dalam kontestasi politik segera dihentikan. Sebab, politisasi identitas merupakan bagian dari kejahatan demokrasi.
"Ke depan politisasi identitas juga masih terus potensial terjadi dalam kontestasi politik di republik ini. Kami dorong praktik-praktik politisasi identitas, harus disudahi," ucap Ismail.
Kasus yang melibatkan Ahok ini dinilai dapat menebarkan ancaman baru karena memberikan preseden yang buruk bagi demokrasi di Indonesia. Berkaca pada kasus Ahok, semua orang berpotensi mengalami hal yang sama.
"Karakter dari delik penodaan agama multitafsir, bias, dan rentan dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik karena dia digunakan sebagai alat penundukan," kata Ismail.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebelumnya memvonis Ahok dua tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan penodaan agama dalam sidang putusan pada Selasa (9/5).
Ahok kini ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Tim pengacara Ahok telah resmi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Mereka juga mengajukan penangguhan penahanan. (Nursita Sari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News