kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perludem: Pencabutan hak politik koruptor bisa menguatkan demokrasi


Minggu, 25 Maret 2018 / 20:32 WIB
Perludem: Pencabutan hak politik koruptor bisa menguatkan demokrasi
ILUSTRASI.


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menyebut, pencabutan hak politik bagi terpidana koruptor justru dapat menguatkan demokrasi, alih-alih menggembosinya.

"Jadi pelajaran bagi partai politik untuk memilih calon, dan seharusnya ini betul-betul memberikan efek jera bagi politisi agar tak berperilaku koruptif," katanya, Minggu (25/3).

Oleh karena itu, menurut Titi, pencabutan hak politik untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik baik eksekutif maupun legislatif bagi koruptor justru akan menjadi mekanisme penyaring. Sebab, para partai politik mau tak mau harus menggerakkan mesin partainya untuk menciptakan kader-kader politik yang anti korupsi.

"Meski ada saja partai politik yang kembali mencalonkan kadernya yang telah jadi terpidana korupsi. Itu jadi bukti bahwa mesin kaderisasi partai tak jalan," lanjutnya.

Pencabutan hak politik tercantum dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutuskan untuk mencabut hak politik. Baik hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Pencabutan dimaksudkan agar memberikan efek jera bagi koruptor, sekaligus untuk meminimalkan kejahatan korupsi.

Dari penelusuran KONTAN, pencabutan hak politik bagi terpidana koruptor pertama kali diberikan kepada Inspektorat Jenderal Djoko Susilo atas partisipasinya dalam kasus korupsi simulator SIM. Selain diputuskan mendaoat hukuman di penjara selama 18 tahun penjara dan dena senilai Rp 1 miliar, hak politiknya untuk menduduki jabatan publik juga dicabut.

Terbaru adalah mantan Anggota Komisi V DPR Yudi Widiana Adi, yang tersangkut kasus korupsi pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara. Selain mendapatkan hukuman kurungan 9 tahun penjara dan denda senilai Rp 500 juta, Yudi juga dilarang untuk memilih maupun dipilih untuk mengisi jabatan publik selama lima tahun setelah vonis hukumannya selesai.

Dari 2004 hingga 2017, pejabat publik memang paling banyak jadi pesakitan KPK. Ada 175 pejabat setingkat eselon I/II/III, dan 144 anggota DPR, dan DPRD yang jadi tersangka KPK. Sementara yang terbanyak memang masih berasal dari pihak swasta yaitu sejumlah 184 orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×