kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Waspadai rupiah dan harga minyak


Kamis, 30 November 2017 / 11:27 WIB
Waspadai rupiah dan harga minyak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir-akhir ini gerak rupiah dan harga minyak mentah semakin liar. Lihat saja, kemarin, nilai tukar rupiah berada di level Rp 13.514 per dollar AS. Sementara harga minyak cenderung naik dan menyentuh level harga US$ 58,09 per barrel.

Gejolak rupiah dan harga minyak ini patut diwaspadai, utamanya terhadap anggaran negara. Maklum, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 menetapkan asumsi kurs rupiah di level Rp 13.400 per dollar AS. Sementara asumsi harga minyak Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) dipatok US$ 48 per barel.

Nah, Nota Keuangan Rancangan APBN-P 2017 menyebutkan, setiap rupiah melemah Rp 100 per dollar AS dari asumsi APBN akan mengerek beban belanja negara Rp 1,6 triliun-Rp 2,5 triliun. Itu terjadi akibat belanja pemerintah pusat bertambah Rp 1,3 triliun-Rp 2 triliun seiring dengan pelemahan rupiah itu.

Sementara setiap ICP naik US$ 1 per barel di atas asumsi APBN akan menambah beban belanja negara Rp 2,4 triliun-Rp 2,9 triliun. Kenaikan beban itu antara lain berasal lonjakan anggaran subsidi bahan bakar minyak.

Untunglah, sejauh ini anggaran negara masih aman. Kendati rupiah dan harga minyak makin liar akhir-akhir ini, nilai sepanjang tahunnya masih sepadan dengan asumsi makro APBNP 2017.

Askolani, Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyatakan, perubahan parameter kurs dan ICP masih bersifat harian atau mingguan. Sedangkan pemerintah menghitung indikator APBN dalam rentang rata-rata satu tahun. "Saat ini angkanya masih tak jauh berbeda dengan asumsi APBN," kata Askolani kepada KONTAN, Rabu (29/11).

Maklum, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) di Bank Indonesia, rata-rata kurs rupiah dari awal tahun hingga 29 November 2017 adalah Rp 13.369,30 per dollar AS. Sedangkan rata-rata ICP hingga Oktober 2017 menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah sebesar US$ 49,38 per barel naik tipis di atas asumsi APBNP 2017.

Oleh karena itu, Kemkeu menyatakan, fluktuasi rupiah dan harga minyak saat ini berdampak minim saja terhadap beleid anggaran tahun ini. "Sehingga tidak ada perubahan kebijakan sama sekali mengenai hal itu. Namun akan kami hitung lagi parameternya untuk rata-rata selama 12 bulan," terang Askolani.

Merugikan BUMN

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, kurs rupiah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Darmin optimistis kurs rupiah yang saat ini bertengger di level Rp 13.500 per dollar AS, tidak akan melemah lebih dalam lagi. "Tidak ada yang membikin rupiah berubah lagi," tandasnya usai acara Kompas CEO Forum, Rabu (29/11).

Darmin menilai, melemahnya rupiah pada saat ini terimbas oleh kelesuan kondisi ekonomi dan politik global. Salah satunya berasal dari sentimen negatif dari rencana Presiden AS Donald Trump menurunkan pajak perorangan dan perusahaan di AS. Padahal, rencana itu belum tentu terlaksana.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara menilai, saat ini Pertamina dan PLN yang paling terpukul oleh pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah. Sebab, PLN, misalnya, harus menghelat megaproyek kelistrikan 35.000 MW yang menyerap banyak komponen berbasis dollar AS. Perusahaan ini juga tak boleh menaikkan tarif listrik di tahun depan.

Sementara Pertamina harus melaksanakan program BBM satu harga. Padahal, "Harga keekonomian premium sudah di atas Rp 7.000 per liter, tapi Pertamina harus menjual Rp 6.450 per liter," kata Bhima.

Walhasil, kedua perusahaan negara itu harus menanggung sendiri beban tanpa tambahan subsidi dari negara. Apabila model penugasan ini terus dilanjutkan, keuangan beberapa BUMN dipastikan terganggu. "PLN masih harus mendanai megaproyek pembangkit listrik. Ujungnya nanti, beban tersebut juga akan ditimpakan ke masyarakat dengan dalih peningkatan daya listrik, misalnya," terang Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×