Reporter: Umar Idris, Arief Ardiansyah, Maria Elga Ratri, Francisca Bertha Vistika, Herlina KD | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Tidak ada pesta atas jabatan baru Muhamad Chatib Basri sebagai menteri keuangan (menkeu). Sehari setelah pelantikan, Rabu (22/5), Chatib langsung mendatangi Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas perubahan bujet negara. “Saya tidak memiliki kemewahan apakah ini rasa senang atau sedih setelah menjabat sebagai menteri keuangan, karena pekerjaan sudah menunggu,” ujar Chatib.
Memang, sepekan sebelumnya, Pelaksana tugas Menkeu Hatta Rajasa sudah mengirim Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN-P) 2013 ke DPR. Seperti tahun lalu, pemerintah merombak total anggaran negara. Ini ditandai dengan perubahan hampir semua asumsi makroekonomi yang menjadi dasar penyusunan APBN-P 2013.
Menyikapi kondisi ekonomi terkini, pemerintah terlihat agak pesimistis dengan memasang target pertumbuhan ekonomi 6,2%. Target ini lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi di 2012 yaitu 6,5%. Pada APBN 2013, proyeksi pertumbuhan masih 6,8%.
Perubahan asumsi makroekonomi yang lain yakni inflasi, nilai tukar, harga minyak, serta lifting minyak dan gas. Adapun tingkat suku bunga SPN 3 bulan tidak berubah, tetap 5% . “Perubahan ini mempengaruhi penerimaan dan belanja negara,” kata Chatib.
Selanjutnya, mari kita bedah postur perubahan bujet negara. Dari sisi penerimaan, pemerintah menurunkan target penerimaan negara sebesar Rp 41 triliun atau 2,3%. Target semula di APBN 2013 adalah Rp 1.529,7 triliun dan terpangkas menjadi cuma Rp 1.488,3 triliun.
Chatib mengatakan, penurunan pendapatan negara ini lantaran ada revisi penerimaan perpajakan. Pemerintah menurunkan target penerimaan pajak Rp 53,645 triliun. Artinya, dari pos ini pemerintah hanya berharap penerimaan Rp 1.139 triliun, dengan rincian penerimaan pajak dalam negeri Rp 1.090 triliun dan penerimaan pajak perdagangan internasional sebanyak Rp 48,421 triliun.
Untunglah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) naik menjadi Rp 344,49 triliun dari sebelumnya Rp 332,19 triliun. Sayang penerimaan pajak masih memberikan kontribusi yang besar untuk penerimaan negara, yaitu sebesar 76,8%.
Kondisi perekonomian global yang belum pulih menjadi dalih terjadinya penurunan pendapatan negara. Saat ini harga berbagai komoditas masih dalam tren turun yang merembet pada laba perusahaan yang merosot dan menggerus pembayaran pajak. “Padahal, pendapatan pajak terbesar berasal dari perusahaan tambang, perkebunan, dan yang ada di sektor komoditas,” ujar Chatib.
Apalagi, penerimaan migas pun tidak sesuai perkiraan. Karena itu pemerintah pun ikut menurunkan penerimaan dari migas dari Rp 71,381 triliun menjadi Rp 70,761 triliun. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan lifting minyak dari 900.000 barel per hari menjadi 840.000 barel per hari.
Selanjutnya, draf APBN-P 2013 mengalokasikan kenaikan belanja negara sebesar 2,3%, senilai Rp 39 triliun, menjadi Rp 1.722,03 triliun. Pagu belanja dalam APBN 2013 tercatat Rp 1.683 triliun. Pos belanja non-kementerian/lembaga bertambah Rp 46 triliun, 95% pos ini untuk subsidi. “Sebagian besar kenaikan ini disebabkan kenaikan anggaran subsidi energi dan untuk dana kompensasi BBM,” tutur Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo.
Dalam RAPBN-P 2013, pemerintah memastikan adanya kebijakan pengendalian anggaran subsidi BBM. Kenaikan harga BBM bersubsidi tinggal menunggu waktu. Kabar terakhir pemerintah akan menetapkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter. “Keputusan kenaikan harga BBM menunggu adanya persetujuan dari DPR tentang dana kompensasi,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 29,6 triliun untuk dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Di sisi lain, anggaran subsidi BBM juga tetap melonjak akibat kenaikan kuota volume konsumsi BBM bersubsidi dari 46 juta kiloliter menjadi 48 juta kiloliter.
Upaya pemerintah menekan belanja negara juga dilakukan dari pemotongan belanja kementerian/lembaga. Semula pemerintah berencana memotong anggaran tiap instansi sebesar 9,1%. Dari sini APBN bisa mendapat pengurangan belanja hingga Rp 24,6 triliun. Tapi, fakta yang tercantum di R-APBNP 2013, belanja instansi pemerintah hanya terpotong Rp 7,16 triliun.
Dari perubahan postur penerimaan dan belanja ini, defisit APBN-P membengkak Rp 80,7 triliun menjadi Rp 233,7 triliun. Itu berarti, terjadi defisit anggaran 2,48% terhadap produk domestik bruto (PDB).
rintah akan berupaya menambal defisit anggaran yang membengkak ini dengan tambahan pinjaman program, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), serta pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Tahun ini pemerintah akan menerbitkan SBN baru senilai Rp 60,9 triliun. Lalu, pemerintah melakukan tambahan penarikan pinjaman luar negeri bruto Rp 3,12 triliun. “Ada pula tambahan pemanfaatan SAL Rp 20 triliun,” tambah Chatib.
Ruang fiskal sempit
Perubahan total anggaran negara ini di luar dugaan ekonom Lana Soelistianingsih. Sebelumnya dia menyangka pemerintah hanya akan fokus mengubah anggaran untuk kompensasi pengurangan subsidi BBM dalam RAPBN-P 2013. “Karena baru berlangsung sekarang, APBN kita terlambat untuk diperbaiki,” kata Lana.
Alasannya, waktu pelaksanaan APBN-P 2013 nanti hanya enam bulan. Masa ini belum dikurangi proses bolak-balik anggaran dari Kementerian Keuangan ke kementerian/lembaga pemerintah yang lain.
Dalam waktu yang sempit ini, peluang pemerintah untuk mencapai target utama pertumbuhan ekonomi semakin berat. Lana menyebut, satu-satunya harapan agar pertumbuhan ekonomi sesuai target adalah momen kenaikan harga BBM. Ia berharap pemerintah tak menaikkan harga BBM hingga selepas Lebaran sekitar Agustus 2013 nanti. Momen bulan puasa dan Lebaran itu saatnya masyarakat melakukan pembelanjaan terbesar yang bisa menjadi momentum pergerakan ekonomi yang signifikan. “Kalau harga BBM naik duluan, daya beli masyarakat bisa turun dan menggagalkan target pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Lana melihat, pemerintah masih terlalu optimistis dalam menetapkan target penerimaan yang sejatinya udah turun di RAPBN-P 2013. Dia menduga, kebijakan ini dipatok agar defisit anggaran tidak melebihi ketentuan. Ya, pemerintah memang tidak boleh menetapkan defisit melebihi 2,5% PDB.
Perihal belanja negara yang naik Rp 39 triliun, Lana menilai sebagian besar pemanfaatannya untuk dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Di sisi lain, alokasi subsidi BBM juga ikut membesar. Ini tentu tidak sesuai dengan semangat menurunkan konsumsi BBM sehingga neraca pembayaran Indonesia bisa membaik. “Saya melihat ini sebagai indikasi pemerintah tidak bisa mendisiplinkan diri,” kata Lana.
Menurut ekonom Indef Ahmad Erani Yustika, kebijakan fiskal pemerintah tidak mampu menjawab tantangan yang ada sekarang. Dia justru melihat ketimpangan ekonomi semakin menganga. Alhasil, “APBN tidak menjadi faktor pengungkit perubahan kondisi ekonomi masyarakat, meski terus bertambah besar,” kata Erani.
Dari RAPBN-P 2013 tidak terlihat perhatian pemerintah pada masalah kesenjangan ekonomi. Pemerintah tidak menyinggung upaya mengatasi rasio gini yang terus meningkat. Aneka paket stimulus bagi pelaku ekonomi akibat harga minyak tidak dibahas sama sekali. Pemerintah hanya ngotot menyediakan program kompensasi berupa bantuan langsung tunai bagi masyarakat miskin.
Membelejeti RAPBN-P 2013 lebih dalam, Erani berpendapat asumsi makro bikinan pemerintah masih tergolong over optimistis. Dari asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% di RAPBN-P 2013, dia memprediksikan hanya akan tercapai di level 5,8%–5,9%. Adapun target inflasi 7,2% akan membesar ke level 8,5%–9%, dengan asumsi kenaikan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter.
Ekonom A. Prasetyantoko menilai penyusunan RAPBN-P 2013 sepertinya juga turut mengasumsikan semua pihak harus ikut bekerja keras. Dia encontohkan, target pertumbuhan sebesar 6,2%. Target tersebut hanya bisa tercapai bila penyerapan anggaran berlangsung secara maksimal.
Pada 2012, penyerapan anggaran yang terjadi hanya 87,5% dari pagu APBN-P 2012. Perolehan ini lebih rendah dari 2011. Kala itu realisasi penyerapan anggaran mencapai 90,5% dari pagu anggaran.
Pemerintah berharap, penyerapan anggaran tahun ini bisa di atas 92%.Selanjutnya Prasetyantoko mengkritisi penetapan asumsi nilai tukar menjadi Rp 9.600 per dollar AS. Saat ini nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 9.700–Rp 9.800 per dollar AS. “Artinya asumsi ini mengharuskan Bank Indonesia bekerja keras menahan laju pelemahan rupiah,” kata Prasetyantoko.
Secara umum ruang fiskal yang tersedia di APBN-P 2013 sudah sangat sempit. Defisit anggaran 2,48% terhadap PDB baru untuk pemerintah pusat saja. Prasetyantoko mengatakan, defisit bertambah 0,5% bila memasukkan defisit anggaran dari daerah. Dari sini pilihan bagi pemerintah untuk bergerak juga sudah tidak banyak.
Beralih ke subsidi BBM, Prasetyantoko memproyeksikan kuota subsidi BBM akan jebol. Patokan kuota konsumsi BBM 48 juta kiloliter terlalu rendah. Seharusnya pemerintah memasang patokan kuota konsumsi BBM minimal 50 juta kiloliter. Dia mendasarkan pendapat ini pada tingkat konsumsi BBM yang masih tinggi, seiring pertumbuhan penjualan mobil dan sepeda motor yang naik terus.
Menilik kondisi dan perencanaan anggaran yang terjadi, Prasetyantoko menyebutkan tugas Chatib sebagai menkeu sangat berat. Dia dituntut berani melakukan gebrakan perbaikan prosedur penganggaran di Kementerian Keuangan dan kementerian lain. “Tugas ini tak bisa selesai dalam setahun, tapi Chatib harus meletakkan pondasi menuju ke sana,” kata dia.
Selamat bertugas!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 35 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News