Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
Sebagian isi tulisan ini telah terbit di Harian KONTAN, hari Senin 24 Maret 2014. Redaksi menurunkan versi lengkapnya untuk Kontan.co.id agar pembaca dapat secara utuh membaca pemikiran dan informasi yang ada di dalam tulisan ini. Tulisan Christianto Wibisono akan terbit menyapa pembaca setiap hari Senin di Harian KONTAN dan versi lengkapnya akan dimuat di Kontan.co.id. Selamat membaca.
Tiada Hopeng buat Presiden RI?
Oleh: Christianto Wibisono (Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia, anggota Dewan Ekonomi Nasional)
HARI Kamis 6 Maret 2014, Jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membacakan tuntutan terhadap terdakwa Budi Mulya dan menyebut sebanyak 67 kali nama Wakil Presiden (Wapres) Boediono. Peradilan ini merupakan klimaks dari proses yang berlangsung sejak hari Sabtu 23 November 2013, ketika penyidik KPK memeriksa Wapres Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia periode 17 Mei 2008 – 16 Mei 2009 yang bertanggungjawab atas pengambilalihan total Bank Century, tepat 5 tahun yang lalu, pada hari Jumat dini hari, tanggal 21 November 2008.
Dengan mantap dan cukup percaya diri, Wapres Boediono menyatakan bahwa putusan itu adalah kebijakan mulia demi menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman bank gagal berdampak sistemik. Jika dalam pelaksanaannya muncul penunggang criminal, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipersilakan mengusut tuntas para penumpang gelap kebijakan mulia tersebut.
Tampak betapa kesepian Wapres Boediono dan Presiden Yudhoyono, seolah tiada hopeng (sobat kental). Wapres ke-11 RI jelas bukan “criminal” tapi sedang terancam mengulangi riwayat Spiro Agnew, Wapres Amerika Serikat (AS) ke-39 era Presiden AS ke-37, Richard Nixon. Agnew mundur sebagai wapres pada 10 Oktober 1973 karena suap sebesar US$ 268.482 yang baru akan dilunasi kepada State Treasurer William S. James di awal 1983.
Agnew adalah wapres AS kedua yang mundur sebelum akhir masa jabatan, setelah wapres ke-7 John C. Calhoun pada 28 Desember 1832 karena konflik dengan Presiden Andrew Jackson. Dalam memoir yang ditulis tahun 1980, Agnew menulis bahwa ia dipaksa mundur oleh Nixon yang sedang terdesak proses pemakzulan oleh Kongres sehubungan kasus penyadapan kantor Partai Demokrat, gedung Watergate, yang dilakukan untuk pemenangan kembali Nixon pada pilpres 1972.
Krisis Watergate mulai terungkap oleh koran The Washington Post pada 20 Juni 1972, seminggu setelah penyadapan, mulanya merupakan berita kriminal murni yang dianggap dilakukan oleh kroco dari CREEP (Committee to Reelect the President), tim sukses pilpres masa jabatan kedua Nixon. Sebetulnya tanpa menyadap, Nixon akan menang telak pada pilpres 7 November 1972 sehingga penyadapan kriminal di Watergate itu benar-benar suatu ketololan yang berlebihan.
Lebih celaka lagi, para kroco menggigit ke atas terus hingga ke eselon Gedung Putih seperti Charles Colson, Howard Dean, John Erlhichman, sampai ke Kepala Staf Gedung Putih Bob Haldeman. Jaksa penuntut independen Archibald Cox mengusut terus penghapusan pita rekaman23 Juni 1972 oleh Haldeman atas instruksi Nixon. Skandal itu merambat terus hingga Direktur FBI Patrick Gray mengundurkan diri dan Nixon memecat Jaksa Agung Elliot Richardson dan wakilnya William Ruckelhaus karena keduanya tidak mau memecat Cox. Peristiwa ini dikenal sebagai “Saturday Night Massacre”, Pembantaian Malam Minggu, 20 Oktober 1973 karena tiga penegak hukum tertinggi dipecat serempak oleh Presiden Nixon.
Sejak itu, Partai Republik mulai melihat gelagat pemakzulan tidak terbendung karena itu mereka meyakinkan Nixon untuk mundur dengan sukarela dan tidak akan dituntut atau diadili karena segera akan diberi maaf oleh Wapres Gerald Ford yang naik menggantikan Spiro Agnew melalui pemilihan oleh DPR. Pada 8 Agustus 1973, Nixon mengundurkan diri dan Wapres Gerald Ford, satu satunya presiden AS yang dipilih tidak oleh rakyat, segera memberi pardon kepada Nixon pada 8 September 1973.
Keluarga Wapres Agnew akan “jotakan (tidak bertegur sapa), tetapi putri Nixon mengundang Agnew menghadiri pemakaman ayahnya pada 1994 yang kemudian dibalas dengan kehadirannya pada pemakaman Agnew pada 1996.
Ringkasan proses pemakzulan ala skandal Watergate tersebut telah saya sampaikan kepada Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika saya diadu di panggung Pansus sebagai penganut kubu “sistemik”, melawan Kwik Kian Gie dari kubu “non sistemik”. Sejarah mencatat, kubu “sistemik” kalah oleh kubu “non sistemik” sehingga pengusutan kebijakan ambil alih Bank Century menggelinding terus.
Tentang kebijakan 21 November dini hari itu, saya juga telah menulis panjang lebar. Di dalam pesawat kepresidenan RI yang mengangkut delegasi RI ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Washington DC, terdapat 6 Rombongan Khusus, setelah Rombongan Resmi 19 orang termasuk beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Saya salah satu dari 6 rombongan khusus bukan menteri yang diajak dalam delegasi ke KTT G20 yang pertama di Washington DC 14-15 November 2008 akibat krisis Lehman yang nyaris melumpuhkan system keuangan global.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bergabung dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) G-20 di Brazil dan masih mengikuti jumpa pers Sabtu malam tanggal 15 November. Malam itu juga Sri Mulyani kembali terbang ke Jakarta, sedangkan pesawat kepresidenan pada hari Minggu 16 November jam 08.30 pagi bertolak ke Mexico City melanjutkan sisa rute Mexico-Brazil-Peru mengikuti KTT APEC di Lima. Rombongan berada di Mexico antara Minggu siang 12.30 hingga hari Senin pukul 11.30, lalu menuju Brazil dengan transit di Lima, Peru sekitar 18.05-19.35. Rombongan akan tiba di Brasilia (ibukota Brazil) pada Selasa 18 November 03.20.
Rabu, 19 November jam 08.30, rombongan ke Rio de Janeiro dan Kamis, 20 November jam 16.00 pesawat tinggal landas menuju KTT APEC di Lima Peru. Nah, di atas pegunungan Andes dalam flight Rio de Janeiro menuju Lima itulah berita tentang pengambilalihan Bank Century diumumkan di pesawat kepresidenan ketika Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengambil putusan pada dini hari Jumat 21 November di Jakarta. Reaksi Ginanjar Kartasasmita pada saat itu adalah mengusulkan Presiden supaya segera setelah mengikuti KTT APEC, lebih baik kembali ke Jakarta, tidak perlu berlarut-larut sampai 26 November. Tapi KTT APEC-nya baru dimulai Minggu, 23 November. Rombongan kemudian bertolak ke Jakarta via Seattle dan Nagoya pada Senin 24 November jam 7 pagi dan tiba kembali di Halim pada Rabu 26 November 2008.
Dalam seluruh kliping bulan November 2008 itu, tidak ada kritik kecaman terhadap kebijakan yang diambil oleh KSSK pada Kamis larut tengah malam hingga dini hari Jumat 21 November 2006. Padahal, penggelontoran dana yang menurut putusan rapat 21 November itu hanya Rp 632 miliar telah membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Hari Minggu, 23 November, duit ditransfer sebesar Rp 2,78 triliun. Pada 3 Februari ditransfer lagi Rp1,5 triliun. Bank Century juga masih memperoleh dropping dana Rp 630 miliar pada 21 Juli 2009.
Kasus ini baru meledak ketika DPR pada 3 Juli 2009 mulai menggugat pembengkakan dana kucuran hingga Rp 6,7 triliun dan Robert Tantular sang pemilik yang dituduh melarikan dana nasabah hanya divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp 50 miliar. Sementara, penelusuran aliran dana malah menemukan kredit bermasalah yang justru mengantarkan politisi PKS ke penjara. Sedangkan isu aliran dana ke nasabah Budi Sampoerna yang mempunyai deposito Rp 3 triliun dan petinggi partai atau kerabat istana, tidak memiliki relevansi pelanggaran hukum. Karena nasabah memang berhak memperoleh dana yang mereka simpan di bank secara legal dan sah. Wapres Jusuf Kalla juga menyatakan bahwa yang penting mengusut aliran dana, siapa yang “diuntungkan” dari kebijakan itu.
Sejak diminta jadi saksi ahli di depan Pansus, Rabu 20 Januari 2010, saya menyatakan bahwa kasus Century ini ibarat pasien sakit jantung yang dioperasi oleh dokter dengan biaya Rp 6,7 triliun. Kalau tidak dioperasi, bisa mati tanggal 20 November 2008 itu. Setelah setahun, pasien ini menuntut dokter bahwa dia masih hidup, segar bugar, sehat walafiat. Berarti dokter itu malpraktik karena merugikan pasien (baca: ekonomi RI) Rp 6,7 triliun, padahal pasien ekonomi RI sehat walafiat, tidak perlu “operasi Century”.
Seandainya Century ditutup, menurut “mazhab dokter Budiono-Sri Mulyani” maka ekonomi RI bisa collapse karena nasabah akan menyerbu semua bank, bukan hanya Century, untuk menarik Rp 600 triliun dana perbankan nasional dengan simpanan di atas Rp 2 miliar yang tidak dijamin oleh LPS. Yang Rp 900 triliun, karena di bawah Rp 2 miliar bisa diganti oleh LPS. Seluruh dunia waktu itu memberlakukan blanket guarantee karena alasan ini: Lehman Brothers saja bisa bangkrut. Jadi, pemerintah seluruh dunia menjamin agar nasabah tidak melakukan rush yang bisa membangkrutkan perbankan global. Itu adalah alasan kenapa SBY harus terbang ke KTT G-20 karena situasi global gawat dan perlu intervensi global.
Melihat sengkarut masalah Bank Century, saya berpikir tentang sobat kental yang fenomenanya telah mewarnai sejarah politik dan ekonomi Indonesia. Presiden SBY tidak punya hopeng seperti Soeharto punya Prajogo Pangestu, Bob Hasan dan Anthony Salim yang menurut buku Ginanjar Kartasasmita “Managing Indonesia Transformation” menalangi dana hampir US$ 1 miliar ketika Dicky Iskandardinata nyaris membangkrutkan Bank Duta. Benar-benar menyedihkan, seorang presiden, wakil presiden dan menteri keuangan kaliber global yang berbeda pendapat tentang kebijakan dengan wakil presiden saudagar pragmatis, malah tidak punya hopeng yang bersedia menalangi.
Jumlah Rp 6,7 triliun sebetulnya tidak signifikan untuk pengusaha konglomerat. Tapi itulah fakta pembeda Orde Baru dan Reformasi: masa Orde Baru, ada budaya per-hopeng-an, ketika retak berakibat membangkrutkan Orde Baru. Orde Reformasi memang tidak menerapkan per-hopeng-an, bahkan hopeng seperti Hartati Murdaya saja tidak bisa menikmati dispensasi dan atau intervensi.
Dalam hal Century, tragis bahwa Presiden yang terpilih dengan suara mayoritas tidak punya hopeng untuk membeli Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Bahkan juga tidak bisa memerintahkan BUMN (Bank Mandiri) waktu itu, untuk mengambil alih Bank Century.
Masalah perhopengan ini menarik dibahas ke belakang. Ketika perhopengan Presiden RI dengan konglomerat pecah, maka perubahan rezim sering tidak bisa dihindari. Bung Karno menyita “Oei Tiong Ham Concern” yang dimiliki dan dipimpin oleh putra Oei Tjong Hauw (anggota BPUPKI) pada tahun 1963. Perusahaan itu sekarang menjadi BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia. Soekarno dapat membeli armada dan squadron MIG termodern di belahan bumi selatan dengan utang sebesar US$ 2,4 miliar, Bung Karno pun mewariskan keterpurukan ekonomi. Dalam tiga tahun Bung Karno dijatuhkan oleh Soeharto.
Soeharto mengajar adat William Soeryadjaya dengan membiarkan Bank Summa tutup dan William kehilangan Astra karena Oom William arogan ingin menghibahkan saham kepada koperasi. Ketika di Tapos, Soeharto mengimbau konglomerat menjual saham kepada koperasi dengan harga terjangkau. Rush terhadap Bank Central Asia terjadi ketika etnis Tionghoa mengalami malapetaka kerusuhan rasial paling buruk dalam sejarah Indonesia mengakibatkan Soeharto lengser.
Boediono-Sri Mulyani menyelamatkan pasien ekonomi RI, aliran dana seyogianya dibuka. Sejak rapat Pansus 20 Januari 2010, saya sudah menasihati, seandainya ada nasabah kerabat yang punya deposito di Bank Century, maka tidak perlu ditutupi seperti Watergate. Seandainya Budi Sampoerna menyumbang partai, maka maksimal hanya dikenakan sanksi administratif karena melakukan pelanggaran batas maksimal donasi dana kampanye partai oleh perorangan dan badan usaha.
“Kebijakan mulia” yang diambil Boediono-Sri Mulyani menjadi beban karena tidak ada semangat Indonesia Incorporated, jiwa penyelamatan Republik dari krisis global. Masing-masing punya jurus untuk menjatuhkan lawan politik dengan gebrakan pencitraan korupsi dan aliran dana.
Saya mengusulkan agar aliran dana dibuka seluruhnya pada semua kasus yang ditangani KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, bukan hanya Century .Centurygate bukan dan tidak perlu menjadi Watergate, jika sejak semula aliran dana dibuat transparan. Jika KPK tidak berdaya atau bermain mata dengan partai politik partisan, maka Presiden seharusnya berani membentuk Jaksa Independen untuk menuntaskan seluruh kasus model Century yang melibatkan elite dan bernilai di atas Rp 1 triliun dengan Perppu Darurat penuntasan kebijakan berdampak korupsi kriminal raksasa yang harus selesai tugasnya pada 17 Agustus 2014.
Presiden Orde Reformasi tidak perlu hopeng tapi kembali memulihkan kepercayaan rakyat yang hilang tergerus Centurygate dengan benar benar menuntaskan Centurygate agar tidak menjadi Watergate Indonesia 2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News