Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nasib Pekerja Rumah Tangga yang memiliki kontrak tertulis dengan majikan jauh lebih baik dari pada PRT yang tidak memiliki kontrak tertulis. Sayangnya, belum semua PRT bisa terlindungi kontrak tertulis akibat tidak adanya keseriusan pemerintah mendorong lahirnya Undang-Undang PRT.
Ludiah (35 tahun), tidak bisa melupakan kejadian 22 tahun silam. Kala itu usianya masih 13 tahun. Seorang kenalan, pria paruh usia, anak dari tetangga sekampungnya di Wonosobo, Jawa Tengah mengajak Diah, nama panggilannya ,yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu SMP untuk bekerja padanya sebagai pekerja rumah tangga. "Saya dibawa ke Madiun, dia iming-iming gajinya banyak, bisa bawa duit banyak," ujar Diah.
Tanpa pamitan pada orang tuanya, Diah yang belum dewasa benar saat itu langsung mengikuti si Bapak ke Madiun. Di Madiun, Diah bekerja selama empat bulan. Di sana, ia harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, menyapu rumah, dan menjaga dua orang anak si majikan yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan beban kerja sebanyak itu, Diah harus melewati jam kerja yang panjang. Ia harus bangun dini hari pukul 4.00 WIB dan berangkat tidur di jam 11 atau jam 12 malam.
Untuk semua pekerjaan itu, Diah hanya dibayar sebesar Rp 55.000 per bulan. Jumlah yang sangat tidak layak untuk upah seorang pekerja rumah tangga di masa itu.
Selain kondisi kerja yang tidak layak, Diah juga mendapat perlakuan kasar dari sang majikan dan anak-anaknya. " Dia kalau mau nyuruh pakai lempar botol aqua. Anak-anaknya juga bandel, kalau nyuruh pakai kaki. Kepala saya juga diinjak-injak," cerita Diah mengenang masa lalunya.
Jam-jam kerja yang panjang dengan beban kerja yang berat, upah yang rendah, dan perlakuan kasar sang majikan dan keluarga membuat Diah tak betah lagi tinggal dan bekerja. Menjelang Lebaran, Diah pamit ingin pulang ke kampung halamannya.Namun, permintaan perempuan yang kini beranak dua itu untuk bisa berlebaran bersama keluarganya ditolak sang majikan. Sang majikan cemas kalau-kalau Diah tak balik lagi ke rumahnya usai Lebaran.
Karena sikap Diah yang terus keukeuh mendesak, si majikan akhirnya mengizinkannya pulang berlebaran bersama keluarga di Wonosobo. Syaratnya, ia dilarang membawa pulang pakaian dan barang-barang pribadi miliknya. "Bahkan baju Lebaran yang mereka belikan untuk aku juga gak boleh dibawa," kenangnya.
Diah, akhirnya pulang ke rumah orang tuanya di Wonosobo. Sejak itu dia tak pernah kembali ke rumah majikan itu. Pernah suatu ketika, si majikan datang dari Madiun untuk menjemput Diah. Ia enggan kembali, dengan alasan masih harus mengobati kakinya yang terkena koreng.
Kondisi kerja Diah tak berbeda dibanding kondisi kerja temannya, PRT lain yang tidak berkontrak. Ia berkisah, ada temannya sesama PRT yang dijanjikan secara lisan hanya bekerja menyetrika pakaian dan memasak dengan upah Rp 500.000 per bulan. Namun dalam prakteknya, temannya itu harus mengerjakan semua jenis pekerjaan rumah tangga dari mencuci,berbelanja, memasak, membersihkan rumah dan menjaga anak. "Majikan bisanya cuma perintah. Dulu katanya kerja hanya sejam dua jam, gak tahunya sekarang bisa kerja seharian penuh," beber dia.
PRT berkontrak
Nasib berbeda dialami oleh Ririn Sulastri (41 tahun) asal Yogyakarta. Ririn bekerja merawat pasangan suami istri manula (manusia usia lanjut) pada satu keluarga di bilangan Mrican, Yogyakarta.Sebelas tahun silam, ketika diminta bekerja merawat pasangan suami istri itu, Ririn mengajukan syarat adanya kontrak tertulis.
Semula keluarga Eyang Kakung dan Eyang Putri demikian Ririn memanggil mereka, terkejut dengan permintaan tersebut. "Namun, saya beri pengertian. Waktu ditelepon dan ketemuan, saya jelaskan kalau kontrak ini bukan hanya mengikat saja. Kalau keluarga Eyang berdua tidak nyaman, kontraknya bisa batal. Begitu juga, sebaliknya kalau saya tidak nyaman ataupun sama-sama gak enak," beber dia.
Setelah melalui negosiasi, Ririn, keluarga pasangan manula itu, dan serikat pekerja rumah tangga Tunas Mulia, organisasi tempat Ririn bernaung sepakat menandatangani kontrak kerja diatas meterai. Dalam kontrak kerja tersebut, Ririn bertindak sebagai pihak pertama yang bekerja, keluarga pasangan manula sebagai pemberi kerja dan serikat PRT Tunas Mulia bertindak sebagai saksi.
Kontrak tersebut mengatur hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, diantaranya kewajian pihak pertama merawat pasangan jompo itu dari jam 9 malam sampai jam 5 pagi dini hari. Pekerjaan yang dilakukan adalah merawat pasangan jompo yang dipanggilnya Eyang Kakung dan Eyang Putri. Kini Eyang Kakung sudah meninggal, dan Ririn hanya merawat Eyang Putri yang usianya sudah 86 tahun. Eyang Kakung dan Eyang Putri memiliki 5 orang anak yang sukses sebagai dosen, pengusaha dan pejabat negara.
Selain, menegatur jam istirahat dan menemani Eyang Putri, Ririn juga mengatur dietnya. Ia menentukan makanan mana yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi perempuan sepuh yang menderita sakit jantung itu. "Saya juga melakukan fisioterapi pada Eyang dan memberi ramuan herbal jika Eyang Putri demam," ceritanya.
Pengaturan jenis pekerjaan secara detail di dalam kontrak ini penting. Karena jika tidak diatur, kata Ririn, dirinya bisa diminta untuk mengerjakan semua jenis pekerjaan rumah tangga secara serabutan mulai dari memasak, mencuci, menyapu rumah dan lain-lain.
Untuk jasanya itu, Ririn digaji sebesar Rp 1,8 juta per bulan ditambah uang transportasi sebesar Rp 150.000 sebulan, dan uang makan sebesar Rp 7.000 per hari .Dalam sebulan ia bisa membawa pulang uang sebesar Rp 2.160.000. Upah ini terbilang besar mengingat UMK Sleman yang hanya sebesar Rp 1,2 juta.
Urgensi Undang-Undang PRT
Sebenarnya secara internasional sudah ada instrumen hukum yang mewajibkan adanya pengaturan kewajiban dan perlindungan hak-hak PRT dalam sebuah kontrak tertulis. Capacity Building Officer International Labour Organization Muhamad Nour mengatakan pasal 7 ,konvensi ILO No.189 tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga mengatakan bahwa Setiap Negara harus mengambil lankah-langkah untuk menjamin bahwa pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja pada umumnya, diberi informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja dengan cara yang tepat, dapat diverifikasi, dan mudah dimengerti, dan lebih baik jika memungkinkan melalui kontrak tertulis sesuai dengan undang-undang nasional dan peraturan .
Kontrak tertulis tersebut berisi tentang nama dan alamat pemberi kerja,pekerja dan tempat kerja, tanggal mulai dan durasi kerja, jenis pekerjaan, upah, penghitungan upah, periode pembayaran, jam kerja normal, cuti tahunan, waktu istirahat mingguan dan harian, penyediaan makanan dan tempat tinggal, masa percobaan, pengaturan pemulangan dan ketentuan terkait penghentian hubungan kerja dan periode peringatan.
Namun ,Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mudji Handoyo mengatakan pemerintah masih menghadapi kendala dalam melakukan formalisasi relasi kerja antara PRT dan majikan dalam bentuk kontrak tertulis yang diatur oleh undang-undang. Hal ini karena mayoritas masyarakat Indonesia belum mengakui PRT sebagai sebuah profesi. Adanya kontrak formal antara PRT dan majikan akan melahirkan peraturan yang kaku dan baku.
Karena jika terjadi konflik ataupun habis masa kontrak, maka PRT bisa saja langsung di PHK. Padahal, pekerjaan PRT merupakan sektor informal yang merupakan jaringan pengaman sosial atau social security. "Jangan sampai kita terjebak formalitas yang merupakan budaya Eropa dan Amerika," ujarnya.
Sedangkan dalam kebudayaan Indonesia, pekerjaan PRT masih bersifat kekeluargaan. Seringkali PRT adalah anak yang ikut numpang, makan dan disekolahkan oleh kerabat tempat si anak tinggal atau sering disebut "ngenger". Selain itu, masih adanya praktek perbudakan dalam tradisi masyarakat Indonesia yang masih feodal dari Aceh, Jawa sampai Papua menyulitkan proses formalisasi pekerjaan PRT ini .
"Tidak semua budaya Indonesia ini jelek,perhambaan adalah akar budaya . Jika PRT diformalkan maka masyarakat seperti dipaksakan," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News