kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tak bayar kontrak, anak usaha Cipaganti kena PKPU


Rabu, 22 Oktober 2014 / 17:35 WIB
Tak bayar kontrak, anak usaha Cipaganti kena PKPU
ILUSTRASI. Kantor FBI.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Seorang pemilik usaha Luz Design yang bergerak di bidang desain dan pengadaan furniture bernama Dewi Kustini berhasil memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap anak usaha PT Cipaganti Group, yakni PT Cipaganti Parahyangan Perkasa. Anak usaha Cipaganti itu menyediakan pelayanan penginapan dan pelayanan pariwisata.

Perkara ini telah diputus Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 13 Oktober 2014 lalu oleh ketua majelis hakim Robert Siahaan. Majelis hakim mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan karena anak usaha Cipaganti Group tersebut terbukti memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengadilan juga mengangkat Suko Triyono sebagai hakim pengawas. "Mengabulkan permohonan PKPU oleh pemohon terhadap termohon," ujar Robert dalam amar putusannya.

Namun sayang, selama proses persidangan sampai putusan pihak Cipaganti Parahyangan tak pernah hadir di persidangan. Maka putusan pengadilan tersebut bersifat verstek alias tanpa kehadiran termohon meskipun telah dipanggil secara layak.

Kuasa Hukum Dewi, Satria Adiguna mengatakan, kliennya adalah pemilik usaha Luz Design yang bergerak di bidang desain dan pengadaan furniture. Dia bilang kasus ini berawal ketika Luz Design mendapat order pekerjaan dari Cipaganti Parahyangan berdasarkan surat kontrak kerja No. 03/pbh/spk/11/2013 tentang pengadaan furniture hotel Cipaganti Pangandaran Beach 1 Pangandaraan, tertanggal 1 November 2013 dengan nilai Surat Perintah Kerja (SPK) sebesar Rp 375,50 juta.

"Bahwa setelah kontrak dimaksud di atas ditandatangani termohon PKPU telah memberikan pembayaran down payment atas nilai kontrak sebesar 30% dari Rp 375,5 juta yakni sebesar Rp 112,5 juta," ujar Satria.

Satria bilang, kliennya telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh pekerjaan sesuai yang disepakati. Dengan selesainya pekerjaan tersebut menimbulkan hak bagi Dewi untuk menagih pembayaran berdasarkan tahapan sesuai pekerjaan yang telah ditentukan sesuai kontrak.

Dimana pada termin 1 sebesar 50% dari nilai kontrak sebesar Rp 187,25 juta dan harusnya dibayar pada saat barang tiba. Termin 2 sebesar Rp 15% dari nilai kontrak sebesar Rp 56,1 juta dan harus dibayar pada saat barang tiba. Dan retensi sebesar Rp 5% dari nilai kontrak Rp 18,7 juta. Semua tagihan ini telah jatuh tempo pada 9 Januari 2014.

Menurut Satria, dengan tidak dibayarnya termin 1 dan 2, serta retensi sesuai dengan waktu jatuh tempo, maka tagihan tersebut masing-masing dengan total keseluruhan sebesar 70% dari Rp 374,5 juta yakni sebesar Rp 261,2 juta.

Karena itu, sesuai dengan ketentual pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU dimana diatur bila kreditur memperkirakan debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon agar kepada debitur PKPU.

Untuk memenuhi syarat PKPU, Satria menyertakan kreditur lain yakni CV Citra Pembangunan Mandiri dengan tagihan Rp 70 Juta dan PT Bank Bukopin Tbk Cabang Bandung tanpa disertai nilai utangnya. Satria mengajukan nama Anggi Putra Kusuma dan Abdillah sebagai pengurus PKPU. Dan keduanya dikabulkan sebagai pengurus PKPU oleh majelis hakim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×