Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pemerintah memperkirakan dampak dari dilanjutkannya kebijakan Quantitative Easing (QE) oleh Bank central Amerika Serikat, The Fed, akan menurunkan nilai ekspor Indonesia.
Menurut wakil Menteri Keuangan RI Ani Ratnawaty, akibat kebijakan The Fed dengan membiarkan aliran dana dari AS ke emerging market, akan berpotensi outlook pertumbuhan ekonomi AS sedikit lebih rendah.
Ani melihat signal penurunan outlook tersebut akan dilakukan oleh Pemerintah AS. Sebab, penghentian kebijakan QE merupakan salah satu indikator dari membaiknya kondisi ekonomi AS.
"Bila hal ini terjadi, maka akan berdampak terhadap penurunan pendapatan Indonesia dari ekspor," ujar Any, Jumat (20/9) saat meluncurkan Obligasi ritel Indonesia (ORI) seri 010.
Pasalnya, AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia, selain China, Jepang dan Thailand. Nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 10,31% dari total nilai ekspor ke seluruh negara.
Berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke AS dari Januari-Juli 2013 mencapai US$ 9.026,6 juta. Angka ini lebih tinggi dibandingkan nilai ekspor pada periode yang sama di tahun 2012 yang mencapai US$ 8.735,9 juta.
Selain berdampak terhadap menurunnya permintaan ekspor dari AS, penurunan outlook ekonomi negeri Uwak Sam ini juga bisa mempengaruhi harga komoditas dunia menjadi lebih rendah.
Nah, bila harga komoditas turun, maka nilai ekspor juga terancam ikut merosot. Oleh karena itu, Ani mengaku pemerintah tidak bisa tenang-tenang saja menghadapi situasi seperti itu.
Memperbaiki neraca perdagangan
Adapun, hal yang harus segera dilakukan Pemerintah adalah memperbaiki neraca perdagangan. Tujuannya, bila benar nilai ekspor mengalami penurunan, maka nilai impor juga harus ditekan supaya defisit neraca perdagangan tidak terlalu besar.
Satu-satunya cara untuk melakukan hal itu adalah dengan menekan volume konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Meskipun begitu, Ani berharap kalau pertumbuhan ekonomi global bisa kembali pulih, sehingga permintaan ekspor terhadap Indonesia bisa tetap tumbuh. "Kita harus memitigasi ini, karena kita lihat tren pertumbuhan impor ini biasanya lebih tajam dari ekspor," tegas Ani.
Defisit neraca perdagangan memang selalu menjadi salah satu momok persoalan fiskal Pemerintah, karena akan berdampak terhadap defisit neraca transaksi berjalan.
Sebab, defisit neraca transaksi merupakan salah satu fundamental yang membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap Dollar AS, selain faktor global dari rencana tapering off QE.
Atas hal tersebut, Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetyantono mengatakan, QE sebetulnya akan membuat pasar uang dalam negeri lebih volatile. Imbasnya, pelemahan nilai tukar bisa ditekan untuk sementara waktu. "Meski begitu, Indonesia masih belum bisa dari ancaman karena inflasi masih tinggi sekitar 9%," kata Tony.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News