kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Sri Mulyani berupaya defisit neraca perdagangan tak jadi risiko ekonomi


Minggu, 18 Februari 2018 / 15:07 WIB
Sri Mulyani berupaya defisit neraca perdagangan tak jadi risiko ekonomi
ILUSTRASI. Suasana Pelabuhan Tanjung Priok


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA.  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Januari 2018 mengalami defisit US$ 670 juta. Hal itu disebabkan oleh nilai impor yang lebih tinggi, yakni US$ 15,13 miliar dibandingkan dengan nilai ekspor yang sebesar US$ 14,46 miliar.

Melihat hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan berupaya agar defisit neraca perdagangan yang terjadi di Januari 2018 tak berkembang menjadi risiko bagi perekonomian Indonesia.

“Kami tentu saja perlu untuk menjaganya dalam artian kemampuan kita dalam ekspor dan meningkatkan capital inflow di Indonesia menjadi penting,” kata Sri Mulyani di kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, akhir pekan ini.

Bank Indonesia (BI) mencatat, pada bulan Januari 2018, cadangan devisa Indonesia sebesar US$131,98 miliar atau masih mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun, peningkatan ini terutama dipengaruhi oleh dari pajak dan hasil ekspor migas dan hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas.

Sri Mulyani bilang, dengan demikian pemerintah akan mengantisipasi dampak kemungkinan berlanjutnya peningkatan impor yang menjadi penyebab defisit perdagangan dengan mengutamakan untuk genjot kinerja ekspor.

“Supaya defisit yang berasal dari impor ini tidak menimbulkan presepsi mengenai external risk kita,” ucapnya.

Namun demikian, menurut Sri Mulyani impor yang meningkat tak selalu berarti negatif. Sebab, kenaikan impor yang utamanya terjadi pada barang modal dan bahan baku tersebut menjadi tanda bahwa industri manufaktur dan investasi bergerak.

“Impor yang meningkat lebih tajam itu merefleksikan kebutuhan dalam negeri yang dibutuhkan untuk produksi jadi bahan baku maupun barang modal. Kalau importnya adalah dalam bentuk bahan baku atau barang modal itu merupakan suatu indikator yang sehat apakah itu dari sisi manufaktur maupun dari sisi investasi,” ucapnya.

Dalam catatan BPS, impor bahan baku dan penolong di bulan Januari 2018 tercatat US$11,29 miliar atau 74,58% dari total impor sebesar US$15,13 miliar. Sementara itu, impor barang modal mengambil bagian 16,48% dari total impor dengan nilai US$2,49 miliar.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×