CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.481.000   8.000   0,54%
  • USD/IDR 15.600   70,00   0,45%
  • IDX 7.531   50,98   0,68%
  • KOMPAS100 1.170   9,08   0,78%
  • LQ45 934   5,08   0,55%
  • ISSI 227   2,07   0,92%
  • IDX30 480   1,40   0,29%
  • IDXHIDIV20 578   1,25   0,22%
  • IDX80 133   1,07   0,81%
  • IDXV30 142   1,88   1,34%
  • IDXQ30 161   0,24   0,15%

Setoran Pajak Seret, Potensi Penerimaan Pajak Baru Perlu Digali


Kamis, 09 Mei 2024 / 12:07 WIB
Setoran Pajak Seret, Potensi Penerimaan Pajak Baru Perlu Digali
ILUSTRASI. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 393,91 triliun hingga Maret 2024. Angka ini terkoreksi 8,8% secara tahunan atau baru mencapai 19,81% dari target


Reporter: Rashif Usman | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 393,91 triliun hingga Maret 2024. Angka ini terkoreksi 8,8% secara tahunan atau baru mencapai 19,81% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Melihat angka yang terkoreksi dalam tersebut, otoritas pajak dinilai perlu menggali lagi potensi penerimaan pajak baru.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan ada potensi penerimaan pajak baru yang belum disentuh karena dibatasi regulasi. Misalnya, pada potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Menurutnya, masih ada objek PPN yang tidak bisa dipungut karena mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengecualian.

"Kita bicara PPN yang tidak dipungut karena pengusaha punya omzet kurang dari Rp 4,8 miliar. Jadi penerimaan PPN tersebut tidak bisa digali pemerintah karena regulasi ambang batas PKP (Pengusaha kena pajak) PPN," kata Fajry kepada Kontan, Rabu (8/5).

Baca Juga: Kerek Rasio Pajak Daerah, Pemerintah Perlu Melakukan Sejumlah Hal Ini

Selain itu, penerimaan pajak juga belum optimal karena adanya aktivitas underground economy atau underground production, yang merujuk pada definisi OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 

"Contohnya para pelaku tambang ilegal atau pembalak hutan ilegal. Tentu, perlu melibatkan aparat penegak hukum dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujarnya.

Jika melihat secara umum, Fajry menyampaikan potensi penerimaan pajak sudah cukup optimal digali oleh otoritas pajak. Hal ini terlihat dari Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang diproduksi otoritas pajak dalam beberapa tahun terakhir.

Kendati begitu, ada sektor-sektor yang belum optimal ditarik karena pemberian insentif. Contohnya pada sektor konstruksi atau pun beberapa insentif bagi korporasi dengan omzet tertentu. 

Lalu ada juga pungutan yang belum optimal karena sulit diawasi seperti transaksi yang menggunakan elektronik atau ekonomi digital. 

"Selama ini penggunaan mekanisme platform sebagai pemungut PPN masih terbatas seperti jasa digital dari luar negeri maupun pajak kripto. Untuk marketplace ada risiko. Selain itu, ada risiko dari transaksi yang menggunakan platform tak berizin," kata Fajry.

Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai ada dua hal yang memengaruhi kinerja penerimaan pajak di awal tahun ini.

Pertama, tingginya restitusi yang terjadi pada kuartal I-2024. Kedua, ada potensi pajak yang belum tergali optimal sehingga penerimaan pajak mengalami penurunan di awal tahun.

Dirinya mengatakan, realisasi penerimaan pajak sepanjang kuartal I-2024 terkontraksi 8,8% secara tahunan. Padahal pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2024 tercatat 5,11%, atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama sebelumnya 5,04%.

"Jadi kinerja pajak berbanding terbalik dengan kinerja ekonominya. Saya kira data perbandingan kinerja pajak dan kinerja ekonomi menunjukkan masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum terjangkau otoritas," kata Wahyu kepada Kontan, Rabu (8/5) malam.

Oleh karenanya, penambahan wajib pajak baru menjadi urgent, utamanya dari sektor-sektor yang secara teknis sulit tersentuh sistem perpajakan seperti pertanian dan ekonomi digital. 

Baca Juga: Duh! Rasio Penerimaan Negara Sulit Mendaki Lebih Tinggi

Di samping itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga perlu serius mengoptimalkan potensi pajak dari wajib pajak orang pribadi non karyawan.

"Pengenaan pajak atas natura merupakan langkah yang baik, namun perlu dioptimalkan. Termasuk melakukan pembatasan transaksi tunai dan perlu juga mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas warisan," terangnya.

Disisi lain, Wahyu menilai pemerintah terlalu mengandalkan penerimaan negara dari korporasi yang pertumbuhannya relatif tidak semasif dengan pertumbuhan jumlah wajib pajak orang pribadi.

Oleh karenanya, jika ingin mendorong pertumbuhan penerimaan pajak agar meningkat dan berkelanjutan maka pengoptimalan data menjadi sangat relevan. Sehingga diharapkan terjadi pergeseran kontribusi penerimaan pajak, yang selama ini didominasi wajib pajak badan ke wajib pajak orang pribadi.

"Integrasi data NIK-NPWP merupakan kebijakan strategis yang perlu didorong untuk segera diselesaikan. Tidak hanya integrasi data, wajib pajak orang pribadi juga harus diberi ruang agar bisa lebih mudah melaksanakan kepatuhan perpajakannya. Karenanya saya berharap coretax system yang dikembangkan pemerintah bisa segera diterapkan," imbuh Wahyu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×