Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo, Arief Ardiansyah, Fransiska Firlana | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Meski sudah babak belur mengalami kecelakaan tapi selama nyawa belum terenggut, Anda yang kebetulan orang Jawa pasti mafhum dengan ajaran kearifan untuk selalu bersyukur. Falsafah ini sepertinya juga dianut Bank Indonesia. Meski rupiah sudah menampakkan tanda terseok-seok tapi BI melihat ini masih mendingan, karena juga terjadi di mayoritas mata uang Asia.
Mengutip data Bloomberg, yang masuk kategori mata uang Asia adalah rupiah, rupee India, yuan China, ringgit Malaysia, dollar Singapura, dan peso Filipina. Ada pula baht Thailand, dollar Taiwan, won Korea Selatan, dollar Hong Kong, dan yen Jepang. “Beruntung” rupiah tak menjadi yang terlemah.
Selama periode sejak 28 Desember 2012 hingga 25 Juli 2013 atau year to date (ytd), Bloomberg mencatat hanya yuan dan yen yang memiliki rapor biru. Namun, tampaknya kita mesti sepakat mengeluarkan yen Jepang dari daftar perbandingan. Sebab, Negeri Sakura ini memang memiliki kebijakan untuk selalu melemahkan mata uang demi menjaga kondusivitas perdagangan.
Sementara sembilan mata uang lain, memerah. Mata uang yang paling terdepresiasi adalah rupee. Rupee melemah 7,65% hingga senilai 58,965 per dollar Amerika Serikat (AS). Disusul peso yang melemah 6,85% ke 43,360 per dollar AS.
Sementara rupiah melemah 6,43% ke Rp 10.301 per dollar AS. Ini sekaligus menjadi level terlemah rupiah dalam periode ini. Sekaligus menjadi level terlemah sejak 25 Juni 2009 kala rupiah terakhir di Rp 10.260.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pelemahan rupiah masih sesuai dengan kondisi fundamental Indonesia dan sejalan dengan pelemahan negara emerging market di regional. “Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, masih ada yang lebih terdepresiasi. Ini kondisi dunia,” kilah Agus.
Oleh karena itu Agus mencoba meyakinkan pasar agar tak perlu khawatir dengan nilai tukar rupiah yang tembus ceban. Nilai kurs rupiah saat ini, menurut dia, mencerminkan keseimbangan antara aktivitas ekspor dan impor yang sehat.
Pemerintah tak kalah mendukung pemikiran BI. Senada seirama, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menuding sentimen kebijakan quantitative easing (QE) oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang menjadi biang kerok pelemahan rupiah. Akibatnya rupiah tak bisa menghindari pelemahan, sama seperti mata uang regional lain.
Loyo satu dekade
Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat, bila horizon waktu perbandingannya pendek, misal enam bulan maka akan terlihat “keselarasan” pelemahan nilai tukar rupiah dengan mata uang negara-negara lain di Asia. Sebab, mayoritas mata uang memang melemah.
Namun bila melihat dengan horizon sedikit lebih panjang, dua tahun atau tiga tahun, baru akan terlihat performa nilai tukar yang agak berbeda antar negara. Dalam hal ini pelemahan rupiah hanya ditemani sedikit negara Asia lain. “Ini berarti ada kondisi dan pengelolaan ekonomi yang kurang bagus di sini,” kata Purbaya.
Coba kita tengok data Bloomberg lagi. Jika mengacu pada saran Purbaya untuk melongok rentang dua tahun ke belakang, mari kita lihat rentang mata uang Asia dari periode 25 Juli 2011 hingga 25 Juli 2013 atau year on year (yoy). Pada periode tersebut rupiah malah naik “peringkat” ada di posisi kedua terlemah setelah rupee.
Jika rupiah melemah 20,85% maka rupee melemah 32,80%. Asal tahu saja posisi rupiah dan rupee pada 25 Juli 2011 adalah Rp 8.524 dan 44.40 rupee.
Rupiah dan rupee menjadi satu-satunya yang melemah double digit. Sementara mata uang lain kecuali dollar Hong Kong, yuan, dan yen yang masih positif – melemah single digit.
Bagaimana kalau rentang yang lebih panjang, yakni 10 tahun? Ternyata sama saja tak mengubah “prestasi” rupiah bersama rupee. Dari sejak 25 Juli 2003 hingga 25 Juli 2013, rupiah dan rupee sudah melemah masing-masing 21,12% dan 27,74%. Patut dicatat, pelemahan keduanya dalam satu dekade terakhir ini menjadi satu-satunya karena mata uang lain masih punya rapor biru.
Namun, ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengingatkan, meski mengalami pelemahan yang mirip, dari sisi cadangan devisa Indonesia dan India berbeda. “Memang bisa dibandingkan apple to apple, tapi ingat cadangan devisanya masih banyak India,” ujar Lana. Cadangan devisa India per 12 Juli 2013 adalah US$ 280,2 miliar, sedangkan cadangan devisa Indonesia hanya US$ 98,095 juta.
Oleh karena itu Lana merasa kurang yakin, Indonesia bakal tetap menjadi surga bagi investor asing jika kondisi nilai tukar masih acakadut seperti sekarang. Dia bilang di mata investor, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan mungkin bakal dianggap lebih menarik.Jadi, kalau begini apakah kita tetap akan bilang masih beruntung?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 44 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News