kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Risiko tinggi hantui anggaran mepet subsidi energi


Senin, 31 Juli 2017 / 07:59 WIB
Risiko tinggi hantui anggaran mepet subsidi energi


Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dessy Rosalina

JAKARTA. Penetapan alokasi dana subsidi energi yang lebih rendah di dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 menambah risiko bagi pemerintah. Dalam APBNP 2017, nilai subsidi ditetapkan hanya sebesar Rp 89,86 triliun, lebih kecil dari usulan pemerintah di nota keuangan RAPBN-P 2017 dan kesepakatan antara panitia kerja (panja) belanja (lihat tabel).

Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani menjelaskan, perubahan anggaran subsidi energi dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan yang ada saat ini. Anggaran subsidi listrik, misalnya, telah memperhitungkan kebijakan pemerintah. "Bahwa yang (golongan) 450 volt ampere tetap dikasih (subsidi) dan 900 volt ampere dan yang dinilai miskin tetap dikasih subsidi dengan penambahan 2,4 juta pelanggan," katanya, Kamis (27/7).

Nilai subsidi juga bergantung pada sejumlah parameter, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan kurs rupiah. "Itu bisa menyebabkan deviasi, tetapi deviasi itu ditentukan oleh audit. Audit yang menentukan apakah itu kelebihan atau kekurangan," tambah Askolani.

Askolani mengakui, ada risiko dari penetapan anggaran subsidi yang pas-pasan. Salah satunya; jika harga minyak Indonesia atau Indonesia crude price (ICP) melewati batas di asumsi makro yang ditetapkan sebesar US$ 48 per barel, subsidi energi bakal membengkak.

Tentu saja, kondisi itu bisa membebani kondisi keuangan PT PLN dan PT Pertamina sebagai penyalur energi bersubsidi. Oleh karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku akan terus memantau keuangan dua perusahaan BUMN ini. Mengingat, pemerintah tercatat masih menunggak utang subsidi kepada Pertamina sebesar Rp 38 triliun. "Kita akan perhatikan kesehatan keuangan PLN maupun Pertamina kalau berhubungan dengan BBM," ujar Sri Mulyani, Jumat (28/7).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, jika nanti terdapat kekurangan atau kelebihan dari subsidi energi, pihaknya akan mengkaji kembali dari hasil audit BPK dan akan dibahas kembali dengan DPR. "(Bila ada) subsidi naik, itu nanti diaudit dulu baru dibayar setelah audit," ujarnya.

Mencermati daya beli

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto menilai, anggaran subsidi tahun ini sangat mepet dan berpotensi membengkak senilai kurang dari Rp 5 triliun. Pembengkakan salah satunya berasal dari subsidi listrik. Agar tidak membengkak terlalu besar, pemerintah bisa mengurangi jumlah pelanggan listrik 900 volt ampere yang selama ini mendapat jatah subsidi.

Namun risikonya adalah penurunan daya beli. Seperti yang terjadi tahun ini, pelanggan listrik 900 volt yang biasanya membayar listrik Rp 100.000-Rp 200.000 harus merogoh kocek Rp 300.000-Rp 400.000. Potensi pembengkakan anggaran juga bisa terjadi pada subsidi elpiji (LPG) 3 kg. Sebab, pemerintah masih menerapkan kebijakan distribusi elpiji 3 kg secara terbuka yang rawan penyimpangan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mencermati, anggaran subsidi energi turun karena ada perubahan kesepakatan awal harga minyak mentah, dari US$ 50 per barel menjadi US$ 48 per barel. Namun, perkembangan terakhir, harga minyak mentah dunia kembali naik melebihi US$ 48 per barel.

"Proyeksi harga minyak mentah dunia dengan berkurangnya jumlah pasokan dari AS dan peningkatan permintaan minyak dari China serta naiknya permintaan menjelang musim dingin akan membuat harga minyak naik di atas US$ 50 per barel pada semester kedua 2017," kata Bhima, Minggu (30/7).

Jika harga minyak mencapai US$ 50 per barel, setidaknya butuh anggaran subsidi energi Rp 105 triliun. Namun jika kenaikan harga minyak diikuti dengan penyesuaian harga energi, inflasi harga yang diatur pemerintah juga naik, sehingga inflasi akhir 2017 bisa lebih tinggi dari 4,5%. Akibatnya daya beli yang sudah terpukul sejak awal tahun semakin turun. "Berat sampai akhir tahun kalau tidak ada penyesuaian harga BBM," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×