Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Langkah Partai Gerindra yang akan mengajukan uji materi Undang-Undang Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi diyakini akan ditolak oleh majelis hakim konstitusi. Keinginan Gerindra dinilai bertentangan dengan sistem tata negara yang ada di Indonesia.
"Saya kira itu 99 persen akan ditolak. Karena itu kan mengubah paradigma dan akan mengacaukan sistem ketatanegaraan," kata pengamat hukum tata negara Refly Harun kepada Kompas.com, Minggu (21/9) siang.
Sebelumnya, Gerindra ingin agar ada aturan dalam UU Pemda bahwa kepala daerah bisa diberhentikan jika parpol pengusung mencabut rekomendasi dukungan. Langkah itu untuk menghentikan karier Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai pemimpin DKI Jakarta.
Refly khawatir, jika parpol diberi hak untuk menarik dukungan dan memberhentikan kepala daerahnya, hal yang sama juga akan diberikan MK kepada sistem pemerintahan pusat. Partai politik, kata dia, juga bisa diberi hak untuk menarik dukungan kepada presiden-wakil presiden lalu memberhentikannya di tengah jalan.
"Bagaimana kalau partai pendukung Jokowi-JK juga mengajukan hal yang sama. Tiba-tiba ditengah jalan, partai juga menarik diri karena tidak sesuai dengan presiden. Masa presidennya berhenti di tengah jalan?" ujar dia.
Refly menjelaskan, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, ketika seorang kepala daerah sudah dipilih oleh rakyat, maka dia seharusnya lebih memiliki hubungan yang erat kepada rakyatnya dibandingkan dengan partai politik. Oleh karena itu, tidak boleh ada hak bagi partai politk pengusung untuk menghentikan kepala daerah yang telah disusungnya.
"Ini sudah berentangan dengan konstitusi. Konsep yang me-"recall" seperti ini, menurut saya tidak mungkin dikabulkan," ucap Refly. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News