Reporter: Handoyo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mulai pekan ini, pembahasan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2017 mulai bergulir. Penentuan UMP berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2015 tentang Pengupahan, berpeluang memicu tarik ulur nan alot akibat perbedaan cara pandang buruh, pengusaha dan pemerintah.
Sebagai catatan, Pasal 44 PP itu mengatur formula penghitungan upah minimum (lihat tabel). Pemerintah berkeyakinan, rumus penghitungan itu merupakan jalan keluar atas persoalan pengupahan antara pengusaha dan buruh. Tapi, kalangan serikat buruh melihatnya berbeda.
Menurut Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), para gubernur akan menggunakan formula tersebut lantaran penghitungannya tidak rumit. Namun, nilai akhirnya akan mengecewakan buruh.
"Kenaikan upah hanya berkisar 8,3% dan tidak mendukung daya beli buruh," ujarnya, Senin (10/10). Buruh pun memiliki perhitungan sendiri dengan mengacu pada komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat, menyatakan telah menyurvei KHL di pelbagai pasar dan ritel modern di Jakarta dengan merujuk pada 60 komponen. Hasilnya, dia menyatakan, UMP Jakarta idealnya naik 23,5% dari upah saat ini yang senilai Rp 3,1 juta.
"Buruh mengusulkan UMP DKI Jakarta tahun 2017 minimal menjadi Rp 3,83 juta," tuturnya.
Tingginya selisih angka ini pasti akan menimbulkan pro kontra dalam proses penetapan UMP. Apalagi, rumusan serupa juga akan diserukan ke kota lain, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Batam, Cilegon, Surabaya, Sidoarjo, dan Mojokerto.
"Kenaikan UMP yang diusulkan sekitar Rp 600.000 per bulan-Rp 750.000 per bulan dari UMP tahun ini," kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Namun, opsi ini langsung ditolak oleh pengusaha. "Kami akan mengacu pada PP tersebut, sehingga dasar hukumnya jelas," tandas Sarman Simanjorang, Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta.
Pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai, formula penentuan upah dalam PP Pengupahan sudah bagus karena perhitungannya mengacu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Acuan itu juga tepat di tengah kondisi perekonomian lesu.
Persoalannya, masalah upah tidak pernah usai. Sebab, "Itu urusan politis," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News