kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,54   -10,97   -1.19%
  • EMAS1.350.000 -0,95%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah masih berharap besar dari cukai rokok


Rabu, 16 Januari 2013 / 16:38 WIB
Pemerintah masih berharap besar dari cukai rokok
Bunga acuan BI masih belum perlu berubah. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.


Reporter: Dikky Setiawan, Umar Idris, Herlina KD, Amal Ihsan Hadian | Editor: Imanuel Alexander


JAKARTA. Menyambut tahun baru 2013, pemerintah kembali memberikan kado tahunan untuk para produsen rokok di Tanah Air. Kementerian Keuangan merilis aturan baru mengenai tarif cukai hasil tembakau. Mulai 25 Desember 2012 lalu, tarif cukai rokok naik rata-rata sebesar 8,5%.

Kebijakan cukai hasil tembakau itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Beleid ini menyebut, tarif cukai rokok naik berkisar Rp 5 per batang per atau gram sampai Rp 20 per batang atau gram. Contoh, tarif cukai untuk tembakau iris, klobot, dan kelembak menyan naik mulai Rp 1 sampai Rp 4 per batang atau gram. Pemerintah juga menerapkan batasan harga jual eceran anyar (lihat tabel).

Kenaikan tarif cukai rokok itu menjadi salah satu andalan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai untuk mencapai target penerimaan yang menjadi beban mereka tahun ini. Target itu mencapai Rp 150,7 triliun dan sebanyak Rp 92 triliun di antaranya adalah cukai.

Agung Kuswandono, Direktur Jenderal Bea Cukai, optimistis lembaganya mampu meraih target penerimaan tahun ini. Alasannya, tahun lalu, Bea Cukai berhasil menjaring penerimaan hingga 105% dari target. Penerimaan cukai saja mencapai Rp 95 triliun. Jadi, bukan persoalan sulit untuk mencapai target tahun ini yang hanya Rp 92 triliun. Apalagi, dalam lima tahun terakhir, produksi rokok rata-rata tumbuh 5,8% per tahun.

Susiwijono, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai, menambahkan, cukai rokok memang merupakan lumbung pemasukan lembaganya. Sekitar 95% pendapatan cukai disumbang cukai rokok.

Faktor terkuat yang mempengaruhi kenaikan cukai rokok adalah kebijakan tarif dan volume produksi. Tahun ini, Susiwijono memperkirakan, volume produksi rokok sigaret kretek mesin mencapai 198 miliar. Sedang sigaret kretek tangan (SKT) 96 miliar batang, dan lebih dari 17 miliar batang untuk sigaret putih mesin (SPM). "Sesuai tarif baru yang ditetapkan, kira-kira akan ada pendapatan Rp 64 triliun dari SKM, Rp 5 triliun lebih dari SPM, dan Rp 18,5 triliun untuk SKT," papar Susiwijono sumringah.

Cukai minuman soda

Selain mengatrol tarif cukai hasil tembakau, untuk mendongkrak penerimaan, pemerintah juga berencana menambah objek cukai baru, yakni minuman ringan berkarbonasi yang berpemanis (MRKP), baik yang berpemanis alami maupun berpemanis buatan. Serupa dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau, tujuan memberlakukan cukai minuman berkarbonasi juga untuk mengendalikan konsumsi minuman jenis ini yang dinilai menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.

Dalam rapat dengan Komisi Keuangan (XI) DPR bulan lalu, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menyatakan, untuk tarif cukai minuman berkarbonasi, pemerintah mengajukan lima alternatif tarif cukai. Pertama, tarif cukai sebesar Rp 1.000 per liter dengan potensi penerimaan Rp 790 miliar. Kedua, tarif cukai Rp 2.000 per liter dengan potensi penerimaan Rp 1,58 triliun. Ketiga, tarif cukai Rp 3.000 per liter dengan potensi penerimaan Rp 2,37 triliun. Keempat tarif cukai Rp 4.000 per liter dengan potensi penerimaan Rp 3,16 triliun. Kelima, tarif Rp 5.000 per liter dengan potensi penerimaan Rp 3,95 triliun.

Sedianya, Kementerian Keuangan mengenakan cukai minuman bersoda pada Januari 2013. Tapi, pengusaha minuman menolak tegas rencana itu. "Kami sudah mengajukan keberatan dan hingga sekarang belum diputuskan oleh Kementerian Keuangan. Kami juga mengadu ke Kementerian Perindustrian untuk meminta dukungan," kata Franky Sibarani, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi).

Menurut Franky, penerapan cukai minuman bersoda akan berdampak langsung terhadap penjualan minuman berkarbonasi yang ada di pasaran saat ini. Misal, air minum dalam kemasan, fruit fowder, dan sport drink. Gapmmi dan industri minuman bersoda tahun lalu menghitung tingkat elastisitas industri minuman bersoda yang mencapai-1,8%. Itu berarti, jika harga minuman bersoda naik 10%, maka penjualan turun 18%. "Penerapan cukai pasti berdampak signifikan bagi penjualan minuman bersoda," ungkap dia.

Celakanya, Franky mengungkapkan, pemerintah juga sedang mengkaji penerapan cukai penyedap rasa alias MSG. Masalahnya, dampak pengenaan cukai pada MSG lebih besar ketimbang minuman bersoda. Selain itu, pemerintah juga sedang mengkaji pengenaan cukai berlian. Rencana ini terkait maraknya aksi penyelundupan berlian dari pelbagai negara. Ada juga rencana mengenakan cukai pulsa seluler.

Tapi, Riant Nugroho, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), menilai, cukai pulsa seluler adalah kebijakan yang ngawur. Selain Kementerian Keuangan belum berkomunikasi dengan BRTI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, kebijakan itu tidak tepat karena pendapatan pulsa operator seluler sudah turun drastis. "Orang kota berkomunikasi sekarang lewat broadband atau berbasis internet di smartphone," katanya. Makanya, operator seluler mengandalkan layanan data sebagai pemasukannya.

Masalah bea keluar

Sejatinya, target penerimaan cukai yang mencapai Rp 92 triliun bukan masalah besar buat Bea Cukai. Sehingga, tanpa objek cukai baru pun, mereka bisa mencapai target tersebut.

Yang menjadi masalah adalah target penerimaan bea keluar tahun ini yang sebanyak Rp 31,7 triliun. Sebab, tahun lalu saja Bea Cukai cuma berhasil mengumpulkan bea masuk sebesar 91,3% dari target yang mencapai Rp 23,2 triliun. Ekspor yang melesu dan harga komoditas dunia yang anjlok menjadi penyebab utamanya. Dan, kemungkinan besar, kondisi yang sama masih terjadi tahun ini.

Menurut Susiwijono, penyumbang utama penerimaan bea keluar hanya dari lima jenis komoditas. "Empat sebetulnya, karena selain minyak kelapa sawit mentah (CPO), bijih mineral, kakao dan kayu, adalah turunan CPO," katanya. Dari keempat komponen tersebut, penerimaan dari bea keluar CPO paling dominan.

Namun, Bea Cukai mendapat "energi" baru untuk menggenjot target penerimaan dari pemberlakuan bea keluar bijih mineral yang berlaku mulai 6 Mei 2012 lalu sebesar 20%. Dengan penerapan bea keluar anyar ini plus volume produksi bijih mineral tahun ini yang bakal bertambah banyak, Susiwijono yakin, penerimaan bea keluar mineral mentah ikut meningkat.

Yang menjadi persoalan justru harga CPO yang bergantung pada harga internasional dan perubahan kebijakan tarif bea keluarnya. "Bisa berkurang atau turun," ujar Susiwijono. Toh, dia optimistis, harga CPO akan relatif stabil tahun ini. Sehingga harapannya, CPO akan menghasilkan bea keluar sebesar Rp 9 triliun, dari produk turunan CPO Rp 14 triliun, dan bijih mineral Rp 8 triliun, Alhasil, total bea masuk bisa mencapai lebih Rp 31 triliun.

Hanya, Arif Budimanta, Anggota Komisi XI DPR, menyoroti lemahnya pengawasan Bea Cukai dalam menjaga barang ilegal yang masuk ke Indonesia. "Bea Cukai harus memperketat pengawasan terhadap barang ilegal. Ini terkait penerimaan bea masuk," pesannya.

Andrinof Chaniago, pengamat kebijakan publik, setuju, upaya Bea Cukai menggenjot penerimaan akan efektif jika pengawasan berjalan baik. Jika penyelundupan atau kongkalikong oknum pegawai Bea Cukai dengan pengusaha nakal tetap terjadi, percuma saja. "Skill dan mentalitas pegawainya harus ditingkatkan. Kerja Bea Cukai, kan, tidak rumit, hanya menjaga mentalitas pegawai yang baik sulit," katanya.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 16 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×