Reporter: Agus Triyono, Hasyim Ashari | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pemerintah tidak akan melakukan ijon pajak untuk mengejar penerimaan pada tahun ini. Janji itu diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kepada media di Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada Selasa (25/10).
Menurut Sri Mulyani, walau potensi penerimaan pajak 2016 masih seret, sistem ijon pajak tidak akan dipakai. Kemkeu dan Ditjen Pajak akan menguber potensi pajak yang lain daripada menerapkan sistem tersebut. Dia menegaskan akan mengejar setiap kegiatan usaha yang belum disisir pajak.
Pengejaran dilakukan memanfaatkan data sistem informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dan menggunakan data amnesti pajak. Sebab dari analisis sementara, banyak kegiatan ekonomi yang para peserta amnesti pajak yang belum kena pajak. "Termasuk pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru yang muncul. Ini menggambarkan hal-hal yang akan banyak kita gali," katanya.
Selain itu, pihaknya juga akan mengandalkan penerimaan dari sumber-sumber pajak sebelumnya. Walau begitu, dia juga berjanji tidak akan membabi buta. "Kami tidak akan berburu di kebun binatang. Itu justru akan menciptakan sinyal yang tidak produktif. Jangan sampai karena kami ingin meningkatkan penerimaan pajak, sektor ekonomi yang mengalami pelemahan karena faktor global makin tertekan," kata Sri.
Di kesempatan berbeda Anggota Komisi XI DPR Indah Kurnia mengatakan, target penerimaan negara yang tidak realistis telah membuat defisit anggaran melebar dan terjadi pemotongan anggara. "Dalam kondisi ekonomi yang lesu, mereka memberikan target pajak yang tinggi tanpa disertai perbaikan sistem," katanya di diskusi 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK, Selasa (25/10).
Menurutnya, langkah amnesti pajak juga tidak cukup untuk mendongkrak penerimaan perpajakan ke depan. Agar program itu bisa menggerakkan ekonomi dan memperbaiki database perpajakan, amnesti pajak juga harus dibarengi revisi aturan perpajakan yang lain. Indah mengaku, DPR akan mengupayakan pembahasan revisi UU perpajakan selesai 2017.
Tidak hanya revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) maupun UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), aturan pajak juga perlu sinkronisasi dengan UU perbankan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo bilang, sinkronisasi dengan UU Perbankan mendesak. Sebab, di 2018, Indonesia akan menghadapi keterbukaan data perbankan. "Jika tidak disesuaikan akan ketinggalan," katanya.
Yustinus meminta pembahasan revisi UU Perpajakan terkait satu sama lain untuk menghindari pasal bertentangan. "Lebih baik disatukan pembahasannya," katanya.
Revisi juga perlu dilakukan secepatnya agar tidak kehilangan momentum amnesti pajak. Sebab setelah amnesti, orang menunggu tarif PPh diturunkan. Kalau terlalu lama maka kepercayaan masyarakat akan hilang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News