Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk merevisi target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), salah satunya dari sektor migas pada APBN P 2017, dinilai sejumlah ekonom beresiko. Belum stabilnya harga minyak mentah dunia menjadi alasan untuk menjadi pertimbangan matang pemerintah.
Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Asset Management, bilang pemerintah jagan terlalu terburu-buru jika ingin mengerek PNBP dari migas. Lana melihat, masih ada resiko ketidakpastian harga migas di dunia. Jika pemerintah terlalu berambisi menaikkan PNBP, ternyata harga minyak cenderung turun di bawah proyeksi pemerintah, maka akan ada potensi penerimaan negara di bawah target lagi seperti tahun 2016.
"Nanti malah ada konsekuensinya berupa anggaran belanja yang dipangkas," kata Lana pada KONTAN, Jumat (24/3)
Lana menilai, asumsi harga dan target PNBP migas yang dimasukkan dalam APBN 2017 sudah cukup aman. Dengan asumsi dasar ekonomi makro tahun 2017, nilai tukar rupiah Rp 13.300, dengan harga minyak mentah US$ 45 per barel, dengan jumlah lifting minyak 815 ribu barel per hari, dan asumsi jumlah lifting gas 1,150 ribu barel setara minyak per hari.
"Seandainya PNBP sudah terlanjur dinaikkan katakanlah sampai 5% di atas sekarang, ternyata harganya minyak mentah tidak naik seperti prediksi pemerintah, malah nanti berakibat pada total penerimaan dalam negeri yang juga turun," jelas Lana
Eko Listiyanto, Ekonom Indef menambahkan, meski sudah ada kesepakatan OPEC untuk membatasi produksi minyak di tahun ini yang bisa cukup mengerek harga minyak, namun jika berkaca pada realisasi penerimaan PNBP migas yang hanya Rp 44, 9 triliun atau hanya 65,3% dari target senilai Rp 68,7 triliun pada APBN P 2017, hal itu bisa jadi tantangan berat di tahun ini.
"Berkaca dari tahun lalu, kalau penerimaan pajaknya saja ada kemungkinan tidak tecapai, apalagi PNBP nya terlalu beresiko nanti double tantangannya di penerimaan negara," kata Eko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News