kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah dan Freeport, kembalikan hak adat Papua


Jumat, 24 Februari 2017 / 21:31 WIB
Pemerintah dan Freeport, kembalikan hak adat Papua


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai menilai, konflik antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia terkait pengalihan status Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangam Khusus (IUPK) tidak berdampak besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya suku Amungme.

Dia mengatakan, sejak penandatanganan KK antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia sebagai tanda dimulainya penambangan di Timika pada 7 April 1967, masyarakat suku Amungme tidak pernah menerima ganti rugi atas pelepasan hak ulayat masyarakat.

Oleh karena itu, Pigai meminta pemerintah memerhatikan keterlibatan masyarakat suku Amungme dalam proses divestasi yang sedang berjalan dengan mengatur pembagian saham untuk masyarakat.

"Pemerintah harus bicara soal kesejahteraan masyarakat. Dalam proses divestasi harus ada ketentuan yang jelas terkait pembagian saham untuk masyarakat suku Amungme," ujar Pigai, saat memberikan keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/2).

Ia menyebutkan, program pengembangan masyarakat yang dilakukan PT. Freeport Indonesia kepada suku Amungme tidak bisa dilihat sebagai bentuk ganti rugi atas pelepasan hak ulayat masyarakat.

Hal tersebut merupakan kewajiban setiap perusahaan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam undang-undang.

"Fasilitas kesehatan, sekolah dan sebagainya dari CSR Freeport selama ini, tak bisa dianggap sebagai kompensasi dari perampasan tanah ulayat suku Amungme," kata dia.

Terkait peningkatan kesejahteraan, kata Pigai, mekanisme pembagian saham bukan tak mungkin dilakukan.

Dalam praktiknya, pemerintah bisa menyerahkan kepemilikan saham melalui perwakilan kepala suku.

Sementara, dana dari saham tersebut bisa dikelola oleh Yayasan Amungme.

Mekanisme lain juga bisa ditempuh melalui penyerahan kuasa pemegang saham ke pemerintah daerah, tentunya dengan pengawasan yang ketat oleh pemerintah pusat.

"Masyarakat harus dimasukkan ke dalam perjanjian antara pemerintah dan PT. Freeport Indonesia. Harus ada pasal khusus yang mengatur hak masyarakat adat. Masyarakat itu harus dapat bagian dalam izin tersebut," kata Pigai.

Selain itu, berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM sejak 2015, Pigai menyebut adanya praktik perampasan lahan milik masyarakat adat suku Amungme di Timikia Papua oleh Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.

Lahan tersebut dikuasai oleh Freeport sebagai wilayah konsesi pertambangan sejak penandatanganan KK.

Namun, menurut Pigai, pengalihan fungsi pengelolaan tanah adat ke Freeport tidak melibatkan masyarakat suku Amungme.

Pasalnya, selama puluhan tahun tanah tersebut menjadi wilayah hukum adat suku Amungme.

Komnas HAM merekomendasikan PT Freeport Indonesia untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi tanah kepada suku Amungme sebagai bagian penghormatan hak ulayat masyarakat adat.

"Saat Kontrak Karya, Papua belum resmi menjadi bagian dari NKRI karena status Papua resmi masuk NKRI pada tanggal 1 Mei 1969," ujar Pigai. (Kristian Erdianto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×