Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang belum optimal, bahkan cenderung memprihatinkan. Pasalnya, sampai dengan saat ini, baru 0,5% energi hijau yang dimanfaatkan di tengah besarnya potensi yang dimiliki Tanah Air.
Sri Mulyani menyatakan, pemanfaatan energi hijau menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya ketika pembangkit batubara dipensiunkan, dikhawatirkan pasokan energi akan turun di saat permintaan energi yang terus naik.
Maka itu, salah satu cara yang bisa dilakukan ialah dengan menggantikan pembangkit fosil dengan energi baru terbarukan. Namun Menkeu menyayangkan, di saat Indonesia memiliki potensi energi hijau yang melimpah, hingga saat ini pemanfaatannya belum maksimal.
“Baru 0,5% Pak Hilmi (Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro) itu memalukan tuh pak. Bahkan tidak sampai 1%. Pak Dirjen dan Pak Sugeng (Ketua Komisi VII DPR RI) nanti DPR dorong-dorong terus Menteri ESDM,” ujarnya dalam acara EBTKE ConEx di ICE BSD, Rabu (12/7).
Baca Juga: Realisasi Pembiayaan Utang Turun 15,4% Pada Semester I-2023
Sri Mulyani menyinggung, Indonesia memiliki banyak sekali potensi EBT baik itu air, panas bumi, matahari dan lainnya. Adapun untuk mengembangkan setiap potensi dari sumber energi yang ada, membutuhkan biaya investasi di depan yang besar seperti geothermal. Selain investasi, ada juga aspek lingkungan yang tetap harus dijaga.
“Kami di Kementerian Keuangan akan terus engage dan mendengar sehingga kebijakan dapat mendukung pengembangan energi baru terbarukan secara lebih besar lagi,” tegasnya.
Sri Mulyani juga menyampaikan, salah satu tantangan yang juga menghambat pengembangan EBT ialah terbatasnya pembiayaan yang bersinggungan dengan batubara. Padahal pemensiunan PLTU tidak bisa dimatikan begitu saja.
“PLN sih bisa saja bilang mana pembangkit batubara yang mau dimatikan. Tetapi kalau hari ini mati, terus tiba-tiba PLN neraca dia jatuh, kalau PLTU punya IPP (swasta) nanti langsung gugat ke PLN. Terus PLN kalah, harus bayar, minta lagi uangnya ke saya. Jadi pada dasarnya, PLN bilang terserah ibu saja,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan seperti ini yang harus disampaikan ke dunia yakni untuk transformasi tidak semudah membalikkan tangan. Harus ada proses dari sisi regulasi yang mendukung transisi energi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News