Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di era keterbukaan informasi dan kecepatan arus berita, peran Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam mengelola komunikasi krisis menjadi semakin krusial. Bencana alam, kebakaran hutan, wabah penyakit, atau gejolak sosial dapat menimbulkan kepanikan publik jika tidak direspons dengan cepat dan tepat.
Komunikasi krisis bukan sekadar menyampaikan kabar terbaru, melainkan mengelola aliran informasi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau hoaks. Oleh karena itu, ASN harus memastikan setiap pesan yang disampaikan jelas, faktual, dan konsisten dengan kebijakan resmi.
Ketua Tim Pengelolaan Komunikasi Strategis Pemerintah Kementerian Komunikasi Digital, Hastuti Wulanningrum, menyampaikan bahwa salah satu isu yang membutuhkan komunikasi krisis saat ini adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pasalnya, kasus karhutla menjadi sorotan belakangan.
Baca Juga: Tingkatkan Komunikasi Internal, Peruri Luncurkan POV Playbook Series
Hal itu disampaikan Hatuti Bimbingan Teknis Media Handling Komunikasi Krisis Isu Kebakaran Hutan dan Lahan, belum lama ini. “Kemkomdigi khususnya Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media, merupakan satuan tugas (satgas) yang bertanggung jawab dalam komunikasi publik mengenai isu kebakaran hutan dan lahan,” ujar Hastuti dalam keterangannya, dikutip Rabu (13/8).
Penanggulangan isu karhutla dijelaskan Hastuti tidak bisa dikerjakan sendiri oleh Kementerian Kehutanan maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kolaborasi lintas sektor dibutuhkan dalam mengelola krisis dan menyampaikan informasi ke masyarakat luas.
Hastuti bilang, di era digital, pengelolaan komunikasi krisis menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya penanggulangan karhutla.
Sementara itu, Public Relations Coach Jojo S. Nugroho mengatakan komunikasi krisis membutuhkan prinsip listen to understand. Ia menilai respons antarunit kerap tidak seragam dan cenderung reaktif.
Ia bilang, isu sekecil apa pun perlu dikelola agar tidak berkembang menjadi krisis, apalagi di era digital yang mempercepat penyebaran informasi negatif. “Krisis dapat berupa peristiwa, rumor, atau informasi yang merugikan reputasi dan mengancam keberlangsungan,” ujarnya.
Jojo menggarisbawahi pentingnya golden hours selama enam jam penanganan krisis. Dua jam pertama digunakan untuk memeriksa SOP, menganalisis dampak dan risiko, serta mengumpulkan tim krisis.
Baca Juga: Perkuat Sektor Komunikasi, BSI dan Telkom Akses Jalin Kerjasama Strategis
Dua jam berikutnya difokuskan untuk menyiapkan stand by statement, menetapkan juru bicara, dan menyampaikan empati. Sementara dua jam terakhir dimanfaatkan untuk menyiapkan hak jawab, meluruskan informasi, dan melakukan pendekatan digital melalui media sosial maupun media massa.
Pada 28 Juli 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan menghadapi puncak musim kemarau pada Agustus 2025, terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Meski Indonesia memasuki kondisi La Niña (kemarau basah) hingga Mei 2025, risiko karhutla tetap tinggi, terutama di wilayah dengan vegetasi kering dan lahan gambut.
Kepala Bidang Penanganan Darurat BPBD Provinsi Sumatra Selatan, Sudirman, mengatakan bahwa penanganan karhutla memiliki urgensi yang semakin tinggi, terutama terkait ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan kerusakan alam. Terlebih, dari luas Provinsi Sumatera Selatan yang seluas 8,37 juta hektar, sekitar 1,27 hektarnya merupakan lahan gambut. “Mitigasi awal, di awal musim kemarau, diperlukan dengan melaksanakan sosialisasi baik ke media sosial, dan lokasi-lokasi di rawan bencana,” tambah Sudirman.
Selanjutnya: Menilik Potensi Pasar Bisnis Umroh dan Wisata Halal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News