Reporter: Adi Wikanto, Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otot mata uang garuda masih loyo. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih bertahan di level Rp 13.700-an per dollar AS di awal pekan ini. Angka itu jauh dari asumsi makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar Rp 13.400 per dollar AS.
Sejak awal tahun 2018, rata-rata kurs rupiah Rp 13.564,31 per dollar AS atau melemah 164,31 poin dari asumsi makro APBN 2018. Walau tidak menguntungkan ekonomi secara umum, pemerintah mengklaim pelemahan rupiah menguntungkan APBN.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani mengatakan, pemerintah tidak khawatir terhadap pelemahan rupiah. Beleid anggaran 2018 juga masih aman dari risiko tekanan pelemahan rupiah.
Justru sebaliknya, "Dari sisi APBN secara keseluruhan, efek depresiasi itu masih positif. Bisa mengurangi defisit APBN 2018," kata Askolani, Senin (26/3).
Pemerintah menetapkan defisit APBN 2018 di level 2,19% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka itu di bawah realisasi tahun lalu yaitu 2,49% dari PDB. Menurut Askolani, depresiasi rupiah sama efeknya dengan kenaikan harga minyak dunia, yaitu positif ke APBN.
Askolani menyatakan, pelemahan rupiah justru akan menambah penerimaan minyak dan gas (migas), pajak penghasilan (PPh) migas, pajak pertambahan nilai (PPN), serta bea masuk dan bea keluar. "Melemahnya rupiah menambah sisi pendapatan yang terkait valuta asing, yaitu penerimaan migas. Itu lumayan valasnya," kata dia.
Namun terhadap pengeluaran dan belanja pemerintah, ada beberapa pos yang akan naik. Misalnya belanja dalam mata uang asing, pembayaran bunga utang luar negeri, subsidi energi, dan transfer ke daerah berbentuk dana bagi hasil (DBH) migas. "Anggaran subsidi energi dan bunga utang naik. Penarikan pinjaman berefek positif, tapi pembayaran pokok bunga negatif," papar Askolani.
Berdasarkan analisis sensitivitas APBN 2018, setiap rupiah melemah 100 poin dari asumsi makro, pendapatan negara bertambah Rp 3,8 triliun–Rp 5,1 triliun. Nilai itu berasal dari kenaikan penerimaan pajak Rp 2,1 triliun–Rp 2,6 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) antara Rp 1,7 triliun–Rp 2,5 triliun.
Dari sisi belanja negara, anggaran belanja bertambah Rp 2,2 triliun–Rp 3,4 triliun jika rupiah melemah 100 poin dari asumsi makro. Sebanyak Rp 1,6 triliun–Rp 2,1 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat (termasuk subsidi dan belanja utang) dan Rp 0,5 triliun–Rp 1,3 triliun dari belanja daerah. Dus, anggaran negara surplus Rp 1,7 triliun jika rupiah turun 100 poin.
Askolani melihat, dalam jangka pendek rupiah sulit kembali ke level di asumsi makro. "Kami tidak melihatnya jangka pendek. Rupiah melemah tapi periodenya belum tahu berapa lama. Bisa mingguan dan bulanan. Ini masuk pemantauan pemerintah, tapi kami tetap hitung sampai 12 bulan," jelasnya.
Menurutnya angka pasti dari indikasi dampaknya ke APBN baru akan dilihat pada Juli nanti. Itu adalah periode Kemkeu menyampaikan laporan semester ke DPR RI.
Ekonom BCA David Sumual menganalisa, pelemahan rupiah memang bisa berdampak positif bagi anggaran dan perekonomian nasional. Namun, itu dengan syarat pelemahan hanya terjadi di level tertentu. "Jika sudah melewati batas psikologis, efeknya sangat buruk," terang David.
Menurutnya, biasanya para pelaku pasar sudah punya patokan sendiri, berapa batas pelemahan rupiah yang aman. Jika kemudian batas aman itu sudah terlewati, maka kepercayaan pelaku pasar berkurang sehingga akan lebih memilih memegang dollar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News