Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan bisnis yang pesat mendorong para pelaku usaha untuk memiliki merek dagang yang dikenal baik oleh konsumen. Sebabnya, reputasi positif yang melekat dalam merek yang terkenal sudah pasti menjadi tolak ukur keberlanjutan bisnis ke depan.
Reputasi itu bisa berupa kualitas, keunikan, atau keunggulan teknis yang membedakan suatu merek terkenal dengan merek-merek lain. Tak heran jika merek terkenal dapat menjadi kekayaan komersial yang sangat berharga dan disebut sebagai harta yang tidak berwujud (intangible assets) bagi suatu perusahaan.
“Masyarakat membeli produk/jasa tertentu karena berkualitas tinggi atau aman dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Reputasi yang didukung daya pembeda itu turut menciptakan basis pelanggan setia. Pelaku usaha meyakini merek dagang terkenal itu mampu menjalin ikatan antara pemilik merek dan konsumen, yang turut berperan sebagai silent salesman (pemasar senyap),” uja Ibrahim, Hakim Agung Mahkamah Agung dalam keterangan tertulis, Rabu (7/4).
Kendati demikian, Ibrahim mengingatkan beberapa aspek penting dalam membangun sebuah merek, terutama merek terkenal. Ibrahim menyebutkan, umumnya terdapat 2 jenis merek yang digunakan dalam suatu barang/produk, yaitu merek utama (main brand) dan merek sekunder/tambahan (secondary brand). Sebab, pelaku usaha biasanya memilih suatu kata yang lebih unik untuk merek utama dan suatu kata yang lebih generik untuk merek sekunder.
Baca Juga: Praktisi hak kekayaan intelektual bicara soal pentingnya perlindungan merek terkenal
“Merek utama pada umumnya menggunakan suatu kata buatan, tidak memiliki arti seperti Kodak, Pepsi yang unik dan telah memiliki citra yang baik, sehingga jenis barang yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar) dan mudah dikenali oleh konsumen. Sedangkan merek sekunder biasa digunakan oleh pelaku usaha untuk memperkenalkan variasi baru dari merek utama.
Contohnya Biore Guard atau Samsung Duos, dan umumnya menggunakan kata-kata generik ataupun deskriptif yang umum digunakan sehari-hari,” jelas Ibrahim.
Contoh secondary trademark lainnya yang dapat ditemui sehari-hari adalah berbagai produk kecantikan yang seringkali ditambahkan kata yang sangat deskriptif seperti ‘Acne’ atau ‘Whitening’. Tak jarang pula ditemui secondary trademark yang dikaitkan dengan khasiat produk seperti Pepsi Zero / Cola Zero, yang mendeskripsikan bahwa produk tersebut adalah zero calorie (tanpa kalori).
Berdasarkan hal tersebut, Ibrahim menegaskan, pelaku usaha harus sangat berhati-hati jika ada pihak lain yang berusaha meniru merek utama mereka. Sebab, lanjutnya, ketika muncul produk/jasa lain yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada keseluruhan dan/atau persamaan pada pokoknya terhadap merek utama, hal ini dapat merusak reputasi dan kesetiaan pelanggan.
“Pihak yang meniru merek utama itu menggunakan tanpa seizin pemilik merek asli dengan tujuan membonceng keterkenalan merek yang asli. Bahkan pemilik merek baru itu mengklaim bahwa kualitas dan gengsi produk/jasa buatannya setara pula. Akibatnya konsumen setia pun terkecoh, karena mengira produk/jasa buatan produsen berbeda itu berasal dari, atau terkait dengan, pemilik merek terkenal yang dipercaya selama ini,” ungkap Ibrahim.