Sumber: KONTAN | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Program transmigrasi, tampaknya, bakal sulit berjalan optimal. Alasannya klasik, alokasi anggaran yang tersedia dengan kebutuhan sangat tidak seimbang. Selama periode 2010 hingga 2014, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya mendapat alokasi sebesar Rp 2,06 triliun.
Itu berarti, "Dalam setahun kami dipatok hanya menerima Rp 400 miliar," kata Dirjen P2MKT Djoko Sidik Pramono, akhir pekan lalu.
Jumlah tersebut jelas terlalu minim. Idealnya, menurut Djoko, anggaran yang tersedia mencapai Rp 1,9 triliun per tahun. "Kami membutuhkan banyak biaya karena ada beberapa program strategis yang harus kami realisasikan," ujar Djoko.
Salah satu program strategis itu adalah pengembangan 18 Kota Terpadu Mandiri (KTM) di daerah transmigrasi pada tahun ini. Dana sebesar Rp 1,9 triliun itu, Djoko menjelaskan, akan digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, kemudian pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan usaha.
Ide besar dari pengembangan KTM, Djoko bilang, adalah membangun pusat ekonomi baru di daerah. Tujuannya, menarik minat penduduk untuk bertransmigrasi dan para transmigran untuk terus menetap. "Jika daerah berhasil dikembangkan, masyarakatnya pasti memilih tinggal. Ini akan menahan arus urbanisasi," ungkap Djoko.
Agar berjalan efektif dan terus berkelanjutan, Djoko berharap, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ikut mengevaluasi program KTM pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, dan mensinkronisasi kebutuhan anggaran.
Selain keterbatasan dana, Djoko menambahkan, anggaran lintas departemen yang dialokasikan untuk pengembangan pemukiman dan kawasan transmigrasi juga masih minim. Begitu juga dengan pemerintah daerah. "Kami sudah programkan, tapi daerah tidak ada yang mengalokasikan anggaran di APBD-nya," ujar Djoko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News