Reporter: Asep Munazat Zatnika |
JAKARTA. PT Chevron Pacific Indonesia harus rela permohonan penangguhan penahanan sejumlah pegawainya, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka ditolak oleh penyidik Kejaksaan Agung. Meski begitu, sang kuasa hukum, Maqdir Ismail menilai keenam tersangka kasus korupsi proyek Bioremediasi tidak layak ditahan.
“Ditolaknya permohonan penangguhan yang kami ajukan, jelas mengecewakan,” kata Maqdir Jumat (12/10) kepada Wartawan. Ia beralasan, kejaksaan sebetulnya tidak punya alasan yang kuat untuk menahan kliennya.
Pasalnya, proses penetapan tersangka hingga penahanan dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Yang menjadi perhatian Maqdri adalah belum jelasnya jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini.
Namun meski demikian, pihaknya belum menentukan langkah hukum terkait penolakan penangguhan tersebut. Untuk menentukan langkah hukum berikutnya, Maqdir bilang dirinya harus membahasnya dengan tim dan pihak Chevron.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus, Andi Nirwanto mengatakan, pihaknya masih perlu melakukan penyidikan terhadap tujuh tersangka dari PT Chevron dan perusahaan kontraktor lain.
Enam orang tersebut antara lain Endah Rumbiyanti (Manajer Lingkungan SLN dan Sumatera Light South/SLS), Widodo (Leader SLN Kabupaten Duri Provinsi Riau), Kukuh (Team Leader SLS Migas), Bachtiar Abdul Fatah (General Manager SLS Operation), serta pihak kontraktor, yakni Herlan (Direktur Perusahaan Kontraktor PT Green Planet Indonesia) dan Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia). Adapun satu tersangka lagi belum ditahan yakni General Manager Sumatera Light North (SLN) Operation Alexiat Tirtawidjaja karena masih berada di Amerika Serikat (AS) menemani suaminya yang sedang sakit.
Adapun kasus ini bermula ketika PT Chevron, yang bergerak di sektor minyak dan gas (migas), menganggarkan biaya proyek lingkungan di seluruh Indonesia sebesar US$ 270 juta (sekitar Rp 2,43 triliun) untuk kurun waktu 2003-2011. Salah satunya adalah proyek bioremediasi atau pemulihan lingkungan dari kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi minyak yang dilakukan perusahaan migas.
Proyek tersebut dikerjakan oleh PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya. Namun, saat diselidiki, diketahui bahwa kedua perusahaan tersebut tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah.
Kedua perusahaan tersebut ternyata hanya perusahaan kontraktor umum sehingga tidak layak melaksanakan proyek bioremediasi. Proyeknya juga tidak dikerjakan alias proyek fiktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News