kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PDB Harga Konstan Turun Dibandingkan Sebelum Pandemi, Tanda Ekonomi Belum Pulih


Minggu, 26 Desember 2021 / 20:54 WIB
PDB Harga Konstan Turun Dibandingkan Sebelum Pandemi, Tanda Ekonomi Belum Pulih
ILUSTRASI. Merujuk data PDB menurut harga konstan, PDB di kuartal III 2021 tercatat turun 10,11% dibandingkan kuartal III 2019 atau kondisi sebelum krisis .


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai produk domestik bruto (PDB) terus meningkat. Menurut harga berlaku, PDB di kuartal III 2021 tercatat naik 3,51% menjadi Rp 4.325,4 triliun dibandingkan kuartal III 2020. Dan bila dibandingkan sebelum krisis atau pada kuartal III 2019, PDB Indonesia naik 6,34%.

Hanya saja, kalau merujuk data PDB menurut harga konstan, PDB di kuartal III 2021 tercatat turun 10,11% dibandingkan kuartal III 2019 atau kondisi sebelum krisis menjadi Rp 2.815,9 triliun dari Rp 2.818,90 triliun di kuartal III 2019.   

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, meskipun nilai PDB menurut harga berlaku naik di kuartal III 2021, namun tidak bisa menjadi indikator kuat untuk pemulihan ekonomi di Indonesia. Sebab, dari sisi PDB berdasarkan harga konstan masih turun.

“Memang kalau dibilang pulih belum solid ya. Secara harga konstan artinya tidak terjadi penambahan pada PDB. Begitu juga dengan indikator penerimaan pajak belum bisa dibilang pulih seperti pra pandemi, meskipun realisasi penerimaan negara sebesar 93% itu kan karena efek dasar rendah,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (26/12).

Baca Juga: Kewajiban Neto Posisi Investasi Internasional Indonesia Meningkat di Kuartal III 2021

Untuk itu, Bhima mengatakan, jangan terlalu optimis terlebih dahulu dengan pencapaian APBN sampai 31 Oktober 2021, meskipun terjadi pertumbuhan penerimaan negara yang fantastis. Menurutnya, penerimaan negara naik adalah hal wajar karena ekonomi mulai dibuka kembali dan terdapat normalisasi permintaan ekspor dari mitra dagang utama.

Namun, jika dibandingkan pada akhir Oktober 2019, sebenarnya realisasi penerimaan pajak Oktober 2021 masih lebih rendah. Catatam Bhima, realisasai penerimaan pajak mencapai Rp 1.173 triliun pada Oktober 2019, sementara pada Oktober 2021 sebesar Rp 1.159 triliun.

Dari data tersebut, Bhima bilang, ekonomi Indonesia masih belum bisa kembali seperti pra-pandemi. Untuk itu, Bhima meminta pemerintah juga mewaspadai kenaikan harga komoditas. Meskipun saat ini masih diuntungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari komoditas sawit dan batu bara yang naik.

“Tapi di dalam negeri perlu waspada efek ke inflasi dan belanja subsidi energi yang merangkak naik. Kemudian pemerintah juga menghadapi tekanan pembiayaan utang, artinya beban bunga masih jadi ancaman fiskal,” ucapnya.

Bhima mencontohkan, pada Oktober 2019 penerimaan pajak lebih besar dan pembiayaan utangnya baru senilai Rp 384,5 triliun. Sementara saat ini, penerimaan  pajaknya lebih rendah dan utangnya malah bertambah hampir dua kali lipat menjadi Rp 608,2 triliun.

“Tahun 2022, volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga akan membuat porsi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak makin lebar,” imbuh Bhima.

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, umumnya untuk mengukur pertumbuhan PDB yang digunakan adalah PDB harga konstan. Hal ini karena telah menyesuaikan angka penghitungan dengan angka inflasi.

Melihat angka konstan yang masih negatif di kuartal III 2021, Yusuf menilai, perekonomian Indonesia masih belum sepenuhnya pulih ke level perekonomian seperti saat pra-pandemi. “Jadi jika melihat angka ini, saya kira memang perekonomian belum sepenuhnya pulih ke level perekonomian pra-pandemi,” imbuh Yusuf.

Ke depan, Yusuf menilai, dalam jangka pendek  prospek ekonomi masih akan dibayangi oleh pandemi covid-19 terutama oleh varian baru, sehingga upaya mitigasi di awal menjadi penting dalam menjaga target pertumbuhan ekonomi jangka pendek (2022 dan 2023).

Sementara untuk jangka menengah panjang, prospek perekonomian akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk menjalankan reformasi struktural. Diantaranya dengan meningkatkan kualitas SDM manusia melalui peningkatan pendidikan dan juga skill tenaga kerja dan juga upaya melakukan reindustrialisasi melalui campuran kebijakan antara fiskal, moneter dan juga sektor riil.

Baca Juga: BKF Sebut Belanja Perpajakan di 2020 Turun 13,7% dari Tahun Sebelumnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×