Reporter: Umar Idris, Herlina KD, Anna Suci Perwitasari, Maria Elga Ratri | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Dalam dua pekan terakhir, rupiah keok melawan dollar Amerika Serikat (AS). Efek dominonya tidak hanya menghantam importir, tapi juga pemerintah. Jadi, bukan cuma importir yang dibikin pusing tujuh keliling, pemerintah juga ikut-ikutan puyeng melihat mata uang garuda yang lunglai menghadapi mata uang Negeri Uwak Sam.
Maklum, dampak pelemahan rupiah sangat besar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yang pertama, sangat jelas, depresiasi mata uang merah putih berpengaruh terhadap asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam anggaran. Di APBN 2012, pemerintah hanya mematok kurs rupiah sebesar Rp 9.300 per dollar AS.
Nah, jika nilai tukar rupiah jauh melampaui asumsi APBN, dampaknya akan merembet ke semua sisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Memang, pendapatan negara bakal meningkat, terutama dari penerimaan minyak dan gas (migas), pajak penghasilan (PPh) migas, pajak pertambahan nilai (PPN), serta bea masuk dan bea keluar. Namun pemasukan itu tak mampu menutup pembengkakan pengeluaran pemerintah akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Ya, anggaran belanja pemerintah pasti akan melonjak jika otot rupiah terus loyo. Ada beberapa pos belanja negara yang bakal naik. Pertama, belanja dalam mata uang asing. Kedua, pembayaran bunga utang luar negeri. Ketiga, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Keempat, transfer ke daerah berbentuk dana bagi hasil migas.
Di sisi pembiayaan, juga ada beberapa pos yang akan terpengaruh. Pertama, pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun proyek. Kedua, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Ketiga, privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing.
Berdasarkan semua skenario itu, bila nilai tukar rupiah rata-rata terdepresiasi Rp 100 per tahun saja dari angka asumsi makro Rp 9.300 per dollar AS, defisit APBN 2013 bakal membengkak Rp 1,05 triliun sampai Rp 1,32 triliun. Catatan saja, tahun ini, pemerintah menetapkan defisit anggaran Rp 153,3 triliun atau 1,65% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Gawatnya, pemerintah memprediksi, tren pelemahan nilai tukar rupiah masih bakal berlanjut. Sehingga, sepanjang tahun ini, rata-rata kurs rupiah tidak akan anteng di angka Rp 9.300 per dollar AS. Pemerintah meramal, rupiah bisa bergerak direntang Rp 9.300 per dollar AS sampai Rp 9.700 per dollar AS.
Dengan skenario terburuk, kalau rata-rata nilai tukar rupiah menyentuh level Rp 9.700 per dollar AS alias melemah
Rp 400 dari asumsi, defisit anggaran tahun ini akan melonjak Rp 4,2 triliun hingga Rp 6,6 triliun. Dengan catatan, pemerintah tetap mempertahankan asumsi kurs rupiah dalam APBN 2013 Rp 9.300 per dollar AS. "Defisit bisa menjadi 2% dari PDB," kata A. Prasetyantoko, ekonom Unika Atmajaya, Jakarta.
Belum akan revisi
Meskipun ancaman sudah di depan mata, pemerintah belum berencana mengajukan revisi asumsi nilai tukar rupiah ke DPR. Maklum, kita baru mulai memasuki tahun 2013. Tapi, "Pemerintah selalu waspada dengan segala kemungkinan," ujar Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
Memang, Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi Keuangan (XI) DPR, mengatakan, asumsi nilai tukar rupiah Rp 9.300 per dollar AS masih realistis. "Untuk tiga bulan saja perhitungan APBN masih aman," kata dia mengingatkan.
Toh, Harry meminta pemerintah untuk menyodorkan revisi APBN 2013 pada Juni nanti. Cuma, ia berpesan, pemerintah harus lebih hati-hati dalam menetapkan asumsi kurs rupiah supaya lebih realistis. Menurut Eric Alexander Sugandi, ekonom Standard Chartered Bank, asumsi nilai tukar rupiah yang realistis adalah Rp 9.800 per dollar AS.
Sementara, Lana Soelistyaningsih, ekonom Universitas Indonesia, menilai, pemerintah dan DPR sebaiknya menetapkan asumsi nilai tukar rupiah dalam rentang tertentu. Angka itu lebih mudah dipahami oleh pengusaha dan investor karena ada batas bawah dan batas atas yang menjadi acuan.
Bambang bilang, tekanan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah ke depan akan bersumber dari semakin menurunnya surplus neraca perdagangan Indonesia. Dampak ini tentu saja bakal berlanjut ke neraca pembayaran negara kita.
Kondisi tersebut makin diperparah oleh keterbatasan devisa hasil ekspor yang bisa ditahan di dalam negeri. Ditambah lagi, perlambatan ekonomi di China, India, dan Brasil bakal mengurangi daya tarik arus modal masuk ke negara emerging market dan mendorong terjadinya flight to quality. Maksudnya, modal asing akan pindah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia ke negara-negara yang lebih stabil kondisi ekonominya. Makanya, "Kami ambil range (rentang) nilai tukar rupiah rupiah Rp 9.300 hingga Rp 9.700 untuk mengakomodasi tekanan atas neraca pembayaran yang masih berlanjut," ungkap Bambang.
Namun demikian, Bank Indonesia (BI) melihat, tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga bersumber dari lonjakan impor BBM bersubsidi. Sebab, konsumsi premium dan solar tahun ini bakal meningkat ketimbang tahun lalu. Jika impor BBM bersubsidi meningkat, permintaan dollar AS pun juga melonjak. "Beban subsidi yang meningkat dalam APBN juga bisa berpengaruh pada perspektif negatif terhadap kesinambungan fiskal. Ini bisa meningkatkan tekanan pada nilai tukar," imbuh Darmin Nasution, Gubernur BI.
Catatan saja, pada tahun ini, pemerintah siap mengucurkan BBM bersubsidi sebanyak 46,01 juta kiloliter (kl) atau naik sedikit dari kuota tahun lalu yang sebesar 45,27 kl. Tapi, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memperkirakan, tanpa program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, konsumsi BBM di tahun 2013 bisa mencapai 48 juta kiloliter.
Jutaan dollar untuk mengimpor BBM
Menurut Suhartoko, Senior Vice President Fuel Marketing & Distribution PT Pertamina, sebanyak 60% kebutuhan BBM bersubsidi nasional diimpor. Perusahaan energi pelat merah ini membutuhkan dana hingga US$ 40,5 juta per hari untuk mendatangkan premium dan solar dari luar negeri.
Hanya, Ali Mundakir, Vice President Corporate Communication Pertamina, menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak akan berdampak pada bisnis perusahaannya. Meski Pertamina merogoh kocek lebih dalam untuk mengimpor BBM bersubsidi, pada akhirnya, mereka akan menagihkan biaya tersebut kepada pemerintah. "Ini lebih banyak dampaknya bagi pemerintah yang mengelola anggaran," tutur dia.
Untuk mengerem pelemahan rupiah, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menginstruksikan Pertamina untuk tidak membeli dollar AS di pasar uang. Selama ini, Pertamina mempercayakan pengadaan dollar AS-nya kepada tiga bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Imbasnya, bank-bank tersebut kemudian berburu dollar AS di pasar valuta. Aksi borong dollar AS ini di pasar uang membuat nilai tukar rupiah anjlok.
Sesuai kesepakatan dengan bank sentral, Rabu (16/1), "Nantinya, BI yang akan menyediakan dollar AS untuk tiga bank BUMN itu bagi keperluan Pertamina," beber Dahlan.
Harapan pemerintah ke depan, rupiah bisa menemukan titik keseimbangan yang paling tepat. Selain APBN tetap aman, yang paling penting adalah pelemahan rupiah tidak menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor atau imported inflation.
Asal tahu saja, lonjakan inflasi, dari mana pun sumbernya, akan menggerus daya beli semua lapisan masyarakat. Apabila daya beli masyarakat sampai merosot, pekerjaan pemerintah makin berat. Pasalnya, selama ini konsumsi rumahtangga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi negara kita. Kalau pertumbuhan ekonomi meleset 1% dari target di APBN 2013 yang sebesar 6,8%, pemerintah bisa tekor Rp 3,69 triliun hingga Rp 5,75 triliun untuk menutup lubang defisit yang menganga.
Jika melihat dampaknya yang gampang menyambar ke mana-mana, tampaknya, pemerintah dan Bank Indonesia memang harus bekerja keras menjaga rupiah tercinta.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News