Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inovasi teknologi dan peningkatan pengetahuan mutlak dibutuhkan bila Indonesia mau segera pulih dari pandemi. Teknologi pula yang bakal mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini disampaikan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam webinar Outlook Ekonomi 2022 bertema Seizing the Opportunity: Transforming Indonesia’s Economy Amidst The Crisis yang digelar secara daring pada Senin (7/) oleh Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
"Inovasi teknologi dan pengetahuan mutlak dikuasai karen kunci kesejahteaan bangsa mulai sekarang," ujar Ma'ruf.
Menurut Ma'ruf, merujuk pada data, Indonesia justru tertinggal soal teknologi dibanding Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei. "Kita tidak bisa andalkan lagi sumber daya alam. Kita perlu belajar dari Dutch Disease," kata Maruf.
Dominasi perusahaan teknologi dalam sepuluh besar dengan laba dan alitan keuangan, tampak, dengan sembilan berurutan. "Hanya satu yakni perusahaan migas Saudi Aramco yang ada di nomor sepuluh. Lainnya nomor satu ada Google lalu Iphone, Samsung, Tienshen, sampai Alibaba," ujar Maruf.
Baca Juga: Ombudsman: Masih Ada Banyak Pekerjaan Rumah OJK untuk Menyelesaikan Keluhan Publik
Karena itu menurut Maruf, "Inovasi atau Mati" jadi slogan yang mesti dipraktikan supaya kemampuan teknologi Indonesia meningkat pesat. "Pengetahuan dan teknologi adalah kunci kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Sejalan dengan paparan Wapres, Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan OJK Inka B Yusgiantoro menyatakan, teknologi telah diterapkan dalam praktik keuangan di Indonesia. Namun kegunaannya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Terutama oleh UMKM atau usaha kecil, menengah, kecil, dan mikro.
Menurutnya, pandemi Covid-19 dapat menjadi game changer untuk keuangan digital. UMKM dan masyarakat unbanked mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi keuangan seperti mobile money, fintech, dan online banking.
"Keuangan digital menjadi pendorong utama untuk inklusi keuangan karena dapat membuka akses untuk UMKM dan masyarakat unbanked ke lembaga jasa keuangan formal, dibandingkan melalui jalur informal dengan biaya yang lebih tinggi,” kata Inka dalam keterangan tertulis, Senin (7/2).
Dikatakan Inka, pandemi mengakselerasi digital baik dari sisi supply (penjual) dan sisi demand (konsumen) di berbagai sektor, terutama sektor perdagangan retail melalui pembayaran digital.
Dengan adanya QRIS, merchants hanya perlu menampilkan QR Code, dan konsumen dapat melakukan pembayaran secara digital melalui penyedia jasa pembayaran yang mereka inginkan. “QRIS telah dimanfaatkan cukup banyak apalagi di UMKM yang naik cukup signifikan pada tahun 2020 ada sekita 2,6 juta, di tahun 2021 meningkat di atas 7,5 juta,”ujar Inka.
Menurut Inka, transformasi digital tentunya akan sukses jika ada kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan khususnya dari pemerintah, kementrian, Lembaga industry sehingga bauran yang ada bisa di senergickan dengan baik. Tahun lalu sudah ada beberapa regulasi PJOK 12, 13, dan 14 terkait dengan bank umum dan juga klasifikasi untun bank digital. Bank digital ini bisa menjalankan kegiatan usahanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat.
Contactless payment merupakan kunci masa depan, menuju ke dunia yang semakin cashless. Di beberapa negara, transaksi tunai sudah ditinggalkan namun di beberapa negara termasuk Indonesia pergerakan non tunai masih tergolong lambat.
"Beberapa faktor seperti Gen Y dan Gen Z yang mendominasi populasi, penggunaan teknologi selular (mobile technology) dan internet yang semakin meluas mendorong transaksi non tunai,” kata Inka.
WHO juga menyarankan contactless transaction pada masa pandemi jadi tidak menggunakan cash tapi pembayaran melalui digital.Pemerintah melalui G2P juga menggunakan pembayaran digital untuk secara cepat dan efisien mencapai masyarakat sebagai contoh KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) bisa melalui platform pembayaran digital dan juga kartu Prakerja juga melalui dompet digital.
Inka menyebutkan, pada tahun 2021 dengan populasi di Indonesia hampir 275 juta jiwa yang mayoritas populasi adalah generasi milenial dan generasi Z, tentunya mereka menjadi driver untuk perubahan digitalisasi di negara ini dan bisa dilihat juga pengguna teknologi digital mobile connection tentunya sudah cukup tinggi di Indonesia namun unbanked juga cukup tinggi yaitu 31%, masih ada kesempatan untuk meningkatkan ini.
"Dari sisi pembayaran digital juga cukup banyak, nilai pembayaran mencapai US$ 35,72 miliar, pertumbuhan pembayaran konsumen secara digital 27,6% dan inklusi masih ada di tahun 2019 48,9% sudah memiliki akun di lembaga jasa keuangan atau sebaliknya 51% orang itu masih unbanked,” ujar Inka.
OJK merespons transformasi digital dengan mengeluarkan beragam peraturan untuk mendukung ekosistem digital pada sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun, menurut Inka, transformasi digital yang sukses membutuhkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan terutama Pemerintah (Kementerian dan Lembaga) dan industri sehingga bauran kebijakan yang ada dapat disinergikan dengan baik.
Keuangan digital perlu diimbangi dengan literasi keuangan terutama literasi keuangan digital yang baik di masyarakat untuk memitigasi risiko dan melindungi konsumen. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK menunjukkan gap inklusi keuangan dan literasi keuangan yang masih besar, sehingga menjadi salah satu indikasi permasalahan-permasalahan konsumen di sektor jasa keuangan.
Baca Juga: Sejumlah Calon Pimpinan OJK Fokus pada Perbaikan di Sektor Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News