Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi mengelar sidang perdana uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), Rabu (31/8).
Gugatan dengan nomor perkara 63/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh tiga perserikatan buruh yakni, Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Mereka menggugat Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak.
Kuasa hukum pemohon, Eggi Sudjana mengatakan, hal yang menjadi pertimbangan paling mendasar pihaknya mengajukan uji materi lantaran adanya diskriminasi terkait berlakunya UU tersebut.
"Kami mewakili buruh sebagai pembayar pajak setia selalu dipotong begitu kan, tapi di sisi lain yang pengusaha yang tidak bayar pajak bahkan dikasi pengemplangan pajak dengan 2 persen itu. Itu diskriminatif yang sangat jelas, telak gitu," ujar Eggi di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.
Majelis hakim persidangan yang dipimpin oleh Anwar Usman dengan anggota majelis I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul memberikan saran terkait gugatan yang diajukan.
Majelis hakim anggota, Manahan, menyampaikan kepada pemohon agar gugatan yang diajukan lebih mendetil dan merinci pokok persoalan.
"Saya menyarankan agar permohonan ini lebih dipertajam. Jadi, dipertajam dia, baik tadi legal standing-nya maupun alasan-alasan permohonan ini," kata Manahan.
Sementara itu, Anwar Usman menyampaikan bahwa pihak pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk memperbaiki gugatan yang diajukan.
"Perbaikannya diberi kesempatan sampai hari Selasa, tanggal 13 September 2016, pukul 10.00 WIB. Itu paling lambat. Ya, kalau bisa lebih cepat, ya, itu lebih baik, ya" kata Anwar.
Alasan menggugat
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, terdapat beberapa alasan buruh mengajukan uji materi ke MK. Pertama, disahkannya tax amnesty dinilai menciderai rasa keadilan kaum buruh sebagai pembayar pajak penghasilan atau PPh 21 yang taat. Bila telat membayar pajak, buruh akan dikenakan denda.
"Di sisi lain pengemplang pajak atau maling-maling itu diberi karpet merah dengan diampuni. Berarti ada yang dilindungi, yang taat justru dibiarkan," kata Said di depan Gedung MK, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Said menuturkan, ketidakadilan semakin memuncak dirasakan buruh ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurut Said, PP tersebut mengembalikan rezim upah murah dan menghilangkan hak berunding serikat buruh untuk ikut menentukan besarnya upah minimum.
Alasan kedua, tax amnesty dinilai telah menggadaikan hukum demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara.
"UUD 1945 menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dengan demikian, adanya tax amnesty berarti antara buruh dan pengusaha tidak sama kedudukannya dalam hukum," ujar Said.
Ketiga, Said mengatakan bahwa dana denda dari hasil pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun yang dimasukkan dalam APBN-P 2016 adalah dana "ilegal-haram". Sebab, dana diambil dari kejahatan pajak. Dengan demikian, kata dia, UU APBN-P 2016 menjadi ilegal dan kaum buruh mendesak agar UU APBN-P juga dibatalkan.
Keempat, tax amnesty dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dengan adanya hukuman penjara lima tahun bagi pegawai pajak atau siapa pun yang membuka data para pengemplang pajak.
"Sungguh aneh. Dalam tax amnesty orang yang mengungkapkan kejahatan pajak, orang yang akan membeberkan data orang yang tidak bayar pajak dihukum 5 tahun. Bagaimana bisa UU bertentangan dengan UUD 45 pasal 34, di mana orang yang mengungkapkan kebenaran dilindungi negara," ucap Said.
Menurut Said, para buruh setuju dengan tujuan tax amnesty, yaitu untuk menutup defisit keuangan negara. Meski demikian, kata dia, hukum tidak boleh digadaikan.
Ia meminta kepada MK untuk meletakkan konstitusi dalam kerangka kedaulatan, bukan demi pertumbuhan ekonomi.
Kelima, dalam tax amnesty terdapat kesan bahwa dana bisa masuk tanpa pedulikan sumbernya. Ia menilai hal tersebut dapat berbahaya karena bisa terjadi pencucian uang dari dana korupsi, perdagangan manusia, hingga hasil kejahatan narkoba.
"Hal ini pun melanggar UUD 1945 yang berarti negara melindungi kejahatan luar biasa terhadap manusia," tutur Said. (Fachri Fachrudin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News