Reporter: Herry Prasetyo, Sri Sayekti, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Para pegawai negeri sipil (PNS) boleh saja iri terhadap para pegawai pajak. Maklum, tahun ini aparat pajak memperoleh tambahan remunerasi yang cukup besar.
Namun, jangan terburu iri. Sebab, selain memperoleh vitamin, tahun ini aparat pajak juga mendapat beban berat mengejar target pajak.
Untuk mencapai target penerimaan pajak tahun ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sudah menyiapkan berbagai strategi. Salah satunya dengan memperbaiki regulasi pajak. Setidaknya, 12 aturan pajak yang akan diperbaiki (lihat tabel). Melalui perbaikan aturan itu, pemerintah berharap bisa meraup potensi tambahan penerimaan pajak hingga Rp 27 triliun.
Namun, merealisasikan rencana memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Belum juga diterapkan, dua peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang sudah terbit tiba-tiba ditunda lalu dibatalkan (lihat boks). Kegamangan aparat pajak tentu menimbulkan tanda tanya dan pesimisme terhadap kinerja aparat pajak dalam mengejar target pajak tahun ini. Padahal, kenaikan target pajak tahun ini sangat besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Toh, Dirjen Pajak Sigit Priadi, mengatakan, untuk mencapai target pajak tahun ini, Ditjen Pajak sejatinya tidak mencari tambahan duit dari perbaikan 12 regulasi. Perbaikan regulasi hanya bersifat meluruskan aturan yang sudah ada. Pengenaan PPN atas jasa jalan tol, contohnya, sejatinya sudah disebutkan dalam Undang-Undang. Cuma, selama ini belum diterapkan. “Kalau tidak dilaksanakan, saya yang salah karena berarti tidak melaksanakan perintah UU,” kata Sigit.
Dalam hitungan Sigit, perbaikan regulasi hanya berpotensi memberikan imbuhan penerimaan Rp 16 triliun–Rp 20 triliun. Dibandingkan dengan kenaikan target penerimaan perpajakan yang mencapai hampir Rp 400 triliun, potensi tambahan itu tidak seberapa. Jadi, Sigit menegaskan, perbaikan aturan bukan sebagai upaya mencapai target penerimaan.
Lalu, bagaimana Ditjen Pajak akan mengupayakan mencapai target penerimaan perpajakan tahun ini? Sigit mengatakan, Ditjen Pajak akan kembali memerilis kebijakan sunset policy. Dengan kebijakan ini, Ditjen Pajak akan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan. Nah, sebagai insentif, Ditjen Pajak akan menghapus sanksi yang timbul atas pembetulan tersebut. Sehingga, wajib pajak cuma perlu membayar kekurangan pembayaran pajak.
Kebijakan matahari terbenam ini sejatinya sudah pernah diterapkan 2008 lalu. Sigit mengatakan, saat itu Ditjen Pajak bisa mengerek kenaikan penerimaan perpajakan hingga 30%. Sigit yakin, jika kebijakan ini kembali digelar, target penerimaan perpajakan yang naik di atas 30% pada tahun ini juga bakal terkejar. Apalagi, pembetulan SPT pada 2008 lalu dilaksanakan berdasarkan asas sukarela oleh wajib pajak. “Saya terapkan hal yang sama namun lebih canggih,” kata Sigit.
Masih berat
Menurut Sigit, kebijakan sunset policy yang akan dirilis April mendatang tidak cuma bersifat sukarela. Pembetulan SPT juga akan bersifat wajib alias mandatory. Sebab, Ditjen Pajak selama ini sudah menjalin kerjasama pertukaran data dengan berbagai lembaga. Berbekal data-data ini, kini Ditjen Pajak memiliki data transaksi dan konsumsi wajib pajak. Nah, aparat pajak akan mencocokkan laporan SPT dengan data-data transaksi wajib pajak. Dari situ, aparat pajak bisa mengetahui apakah wajib pajak sudah betul melakukan pembayaran pajak atau masih kurang bayar. “Sekarang, kalau ada nomor identitas kependudukan (NIK), kami bisa langsung tahu nomor pokok wajib pajak (NPWP),” kata Sigit.
Dari proses pencocokan itu, aparat pajak langsung akan mengirim surat imbauan kepada wajib pajak yang kurang bayar pajak. Jika wajib pajak tidak juga melakukan pembetulan, aparat pajak akan melakukan pemeriksaan sederhana hingga keluar surat ketetapan pajak (SKP) dalam waktu dua pekan. “Kalau sudah SKP berarti masuk ke penagihan aktif dan bisa sampai gijzeling,” tegas Sigit .
Kebijakan sunset policy ini juga berlaku bagi wajib pajak yang selama ini belum memiliki NPWP. Sigit bilang, aparat pajak akan mengimbau masyarakat untuk membikin NPWP dan menyerahkan SPT sejak masa pajak 2010 dan seterusnya. Yang jelas, sepanjang pembetulan SPT dilakukan tahun 2015 dan pembayaran sebelum 1 Januari 2016, wajib pajak akan memperoleh keringanan.
Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis Jakarta, Yustinus Prastowo, menilai, wajib pajak mesti diyakinkan bahwa Ditjen Pajak punya data yang lengkap dan sistem yang bagus. Selain itu, Ditjen Pajak juga harus tegas terhadap wajib pajak yang tidak melakukan pembetulan. Dengan dua cara itu, sunset policy akan berhasil menjaring kepatuhan wajib pajak.
Namun, menurut Yustinus, meski menambah penerimaan pajak 30%, sunset policy pada 2008 hanya menghasilkan tambahan pajak Rp 8 triliun. Jadi, Yustinus menilai, masih berat bagi Ditjen Pajak untuk mencapai target jika hanya menggantungkan pada sunset policy. “Harus ada upaya lain seperti menggarap praktik penghindaran pajak dari transaksi internasional,” kata Yustinus.
Jadi, perlu banyak strategi dan upaya ekstra .
Layu sebelum berkembang
Gejala inkonsistensi dan miskoordinasi mulai dimunculkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Beberapa aturan pajak yang baru saja dikeluarkan langsung dimentahkan sendiri oleh pemerintah. Jika kebiasaan ini berlanjut menjadi tradisi, target anggaran negara 2015 yang ambisius terancam gagal.
Salah satu yang masih hangat dalam ingatan adalah peraturan Direktur Jenderal Pajak Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ 2015 yang dirilis pada 26 Januari 2015. Lewat aturan ini, bank diwajibkan menyerahkan bukti potong pajak bunga simpanan secara terperinci untuk setiap nasabah.
Tadinya, aturan ini bakal memudahkan aparat pajak memantau kepatuhan para pemilik dana. Namun beleid ini menuai protes para bankir yang menilai aparat pajak melanggar undang-undang kerahasiaan bank. Pasca pertemuan Menteri Keuangan (Menkeu), Dirjen Pajak, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan pada 18 Februari 2015 malam, peraturan ini lantas dibatalkan. “Pertimbangannya kita memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Itu saja,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro kala itu.
Perdirjen Nomor PER-10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol juga dibatalkan sendiri pemerintah selang sehari setelah diterbitkan pada 12 Maret lalu. Berdasarkan arahan Jokowi, waktu pelaksanaan aturan tersebut, yakni per 1 April 2015 dinilai belum tepat. Skenarionya, pengenaan PPN ini diterapkan berbarengan dengan kenaikan tarif tol.
Sebagai gantinya, pemerintah akan merilis peraturan pemerintah (PP) untuk mengecualikan kendaraan golongan II keatas dari pengenaan PPN yang tadinya diatur dalam perdirjen. Dus, cuma kendaraan pribadi yang bakal dikenai PPN. “Kalau kami akan memfasilitasi truk-truk dan kendaraan-kendaraan besar, itu harus Peraturan Pemerintah,” kata Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito.
Laporan Utama
KONTAN No. 26-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News