kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menaruh harapan pada rupiah


Kamis, 19 Maret 2015 / 10:05 WIB
Menaruh harapan pada rupiah
ILUSTRASI. 4 Manfaat Mandelic Acid untuk Kulit yang Harus Anda Tahu


Reporter: Andri Indradie, Herry Prasetyo | Editor: Tri Adi

Perut Mukiat Sutikno berasa mulas dalam beberapa hari terakhir. Padahal, Presiden Direktur Hyundai Mobil Indonesia ini tidak sedang sakit perut. Ternyata, perutnya berasa mulas gara-gara mata uang garuda semakin loyo dalam sepekan terakhir.

Sejak awal pekan lalu, nilai tukar rupiah tembus di atas Rp 13.000 per dollar AS. Berdasarkan data Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Kamis (12/1), rupiah bertengger di level Rp 13.176 per dollar AS. Jika dihitung sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah merosot 5,3%.

Wajar jika perut Mukiat berasa mulas. Sebab, pelemahan nilai tukar rupiah jelas berdampak negatif bagi perusahaan. Maklum, Hyundai Indonesia masih mengandalkan bahan baku impor. Mukiat menjelaskan, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk produk Hyundai H-1 baru 43%. “Sebanyak 56% sisanya merupakan komponen impor,” kata Mukiat, terus terang.

Lantaran bahan baku merupakan produk impor, pelemahan rupiah jelas membikin biaya produksi membengkak. Memang, sebagian besar komponen Hyundai diimpor dari Korea. Dengan adanya kerjasama bilateral bilateral currency swap arrangement (BCSA) antara Bank Indonesia dengan Bank of Korea, semestinya transaksi impor bisa dilakukan menggunakan mata uang won Korea. Dengan begitu, harapannya pelemahan rupiah terhadap dollar AS tidak begitu berdampak buruk. Namun, nyatanya, menurut Mukiat, transaksi impor komponen Hyundai tetap menggunakan dollar AS. “Itu permintaan perusahaan di Korea,” kata Mukiat.

Tentu, bukan cuma Hyundai yang terkena dampak buruk pelemahan rupiah. Hampir setiap perusahaan otomotif di Tanah Air terkena imbas serupa. Bahkan, perusahaan otomotif yang sudah memproduksi secara penuh produknya di Indonesia pun tak luput terkena imbas pelemahan rupiah. Sebab, perusahaan otomotif masih harus mengimpor bahan baku besi dan baja.

Jongkie D. Sugiarto, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mengamini. Meski produk kendaraan tertentu punya TKDN yang tinggi, sebagian beser bahan baku masih impor. Ban, contohnya, sebagian besar memang produksi dalam negeri. Tapi, bahan baku seperti karbon hitam masih impor.

Mobil yang masuk kategori low cost green car (LCGC) sudah memiliki TKDN hingga 80%. Namun, di luar LCGC, penggunaan TKDN masih bervariasi. Mobil jenis multi purpose vehicle (MPV), contohnya, punya TKDN rata-rata 60%–70%. Sementara, mobil jenis sedan mempunyai TKDN lebih rendah. Apalagi, sedan kelas premium biasanya punya komponen impor jauh lebih besar lantaran perusahaan otomotif biasanya memperhitungkan skala ekonomi.

Yang jelas, bukan cuma pelaku usaha di bidang otomotif yang terkena dampak buruk pelemahan rupiah. Setiap pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor pasti ikut terkena imbas. Pengusaha yang menanggung komponen biaya produksi dalam dollar AS pasti  juga sama-sama mulas.


Komponen dollar

Henky Wibawa, Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia (IPF), mengakui kesulitan yang menimpa industri pengemasan di Indonesia akibat pelemahan rupiah. Harap maklum, sebagian besar bahan baku produk kemasan merupakan barang impor. “Khusus plastik, separuh bahan baku merupakan impor,” ujar dia.

Memang, seiring penurunan harga minyak mentah, bahan baku plastik juga ikut turun. Namun, akibat pelemahan nilai tukar rupiah, pengusaha kemasan tak menikmati keuntungan penurunan harga bahan baku plastik. Sebaliknya, margin keuntungan bisa terpangkas.

Setelah membeli bahan baku, produsen kemasan biasanya mengajukan penawaran harga kepada perusahaan pemakai yang menjadi pelanggan. Penawaran harga dalam rupiah berdasarkan harga dan nilai tukar pada saat perusahaan membeli bahan baku. Nah, saat rupiah melemah seperti sekarang, produsen kemasan jelas merugi dari selisih kurs. Padahal, margin keuntungan perusahaan kemasan paling banter 15%. “Kalau sudah termakan rugi selisih kurs, margin keuntungan bisa habis,” kata Henky.

Persoalannya lagi, produsen kemasan tidak hanya terbebani bahan baku impor. Bahan baku kemasan yang diproduksi di dalam negeri ternyata juga ditransaksikan dalam mata uang dollar AS. Plastik butiran yang diproduksi perusahaan lokal juga dijual dalam dollar AS.

Memang, perusahaan kemasan bisa membayar menggunakan mata uang rupiah. Namun, dengan harga acuan dalam dollar AS, artinya sekitar 90% komponen bahan baku industri kemasan menggunakan mata uang dollar AS. Padahal, komposisi bahan baku mencapai 60%–80% dari total biaya produksi. Jika nilai tukar rupiah melemah 5%, margin keuntungan bisa tergerus 3%–4%.

Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Olefin dan Plastik (Inaplas), mengatakan, industri hulu plastik memang menjual produknya dalam dollar AS. Tapi, tentu bukan tanpa alasan. Rupanya, dari kebutuhan 4,5 juta ton bahan baku plastik, sebesar 60% merupakan produk dalam negeri. Namun, 60% produk dalam negeri tersebut terdiri dari nafta yang 100% impor dan propilena yang 10%-nya merupakan produksi dalam negeri. Artinya, sebanyak 90% bahan baku tersebut merupakan impor dan dijual dalam denominasi dollar AS. Itu sebabnya, perusahaan hulu juga menjual produknya dalam denominasi dollar AS.


Kenaikan harga

Maskapai penerbangan mau tak mau juga terkena dampak buruk pelemahan rupiah. Menurut Pujobroto, Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia, sekitar 70% komponen biaya Garuda mengunakan dollar AS. Nah, setiap perubahan nilai tukar 100 poin akan mempengaruhi pendapatan US$ 12,8 juta.

Untuk mengantisipasi volatilitas nilai tukar rupiah Garuda menerapkan mekanisme lindung nilai (hedging) khususnya untuk kebutuhan membeli bahan bakar. Namun, tak semua perusahaan mau menerapkan mekanisme lindung nilai. Sebab, mekanisme hedging juga membutuhkan biaya. “Banyak perusahaan kemasan memiliki keterbatasan dana sehingga sulit jika harus mengeluarkan biaya untuk hedging segala,” imbuh Henky.

Jika nilai tukar rupiah terus melempem, pilihan paling mudah bagi para pengusaha tentu menaikkan harga jual produk lantaran biaya produksi membengkak. Santo Kadarusman, Public Relations and Marketing Event Manager PT Hartono Istana Teknologi, berujar bahwa Polytron belum akan menaikkan harga jual produk  telepon seluler lantaran pembelian bahan baku sudah dilakukan sebelum rupiah melemah. Namun, untuk produk peralatan rumahtangga, Polytron masih akan menunggu tren nilai tukar rupiah ke depan.

Santo mengatakan, jika tidak menaikkan harga sementara rupiah terus melemah, perusahaan bisa tidak meraup untung. Sebaliknya, jika mengerek harga, dikhawatirkan konsumen akan pindah ke merek lain. Nah, jika dalam tiga bulan ke depan rupiah terus melemah, Santo mengatakan, Polytron kemungkinan akan menaikkan harga jual di kisaran 1%–5% tergantung dari jenis produk.

Mengerek harga tentu bukan langkah mudah. Mukiat bilang, kenaikan harga jelas akan menurunkan daya beli masyarakat. Tapi, kalau tidak dinaikkan, beban perusahaan jelas berat. “Ibaratnya, maju kena, mundur kena,” kata Mukiat.

Dia berharap, nilai tukar rupiah segera kembali menguat. Menurut dia, semua pengusaha menginginkan nilai tukar rupiah bergerak stabil. Ia berharap, nilai tukar rupiah bisa stabil di level Rp 11.500 per dollar AS. “Di level Rp 12.000 saja kita sudah senang,” kata Budi.

Yang jelas, Budi bilang, pengusaha sangat menggantungkan harapan pada pemerintah dan bank sentral agar rupiah stabil. Pemerintah harus turun tangan. Misalnya, menertibkan penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi di dalam negeri.

Jadi, di pundak pemerintah pengusaha menggantung asa.    


Eksportir belum tentu meraup berkah

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) acap dianggap sebagai berkah terselubung bagi para eksportir. Saat nilai rupiah turun, laju ekspor akan meningkat.

Di atas kertas, anggapan itu memang tidak keliru. Logikanya, saat nilai tukar rupiah melemah, harga produk ekspor di negara tujuan menjadi lebih murah. Jadi, produk itu akan lebih mudah laku terjual. “Itu sudah hukumnya,” kata Benny Soetrisno, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI).

Masalahnya, eksportir belum tentu meraup untung saat rupiah melemah. Benny mengatakan, pelemahan rupiah akan menguntungkan jika komponen bahan baku dan biaya produksi menggunakan rupiah. Namun, jika menggunakan bahan baku impor dan banyak komponen biaya produksi memakai dollar, eksportir tidak memperoleh untung apa-apa.

Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Taufik Gani, mengamini, eksportir mebel bisa memperoleh untung dari selisih nilai tukar jika pelemahan rupiah terjadi dalam waktu singkat. Namun, jika rupiah melemah dalam waktu lebih dari dua pekan, harga bahan penunjang di dalam negeri biasanya juga ikut naik. Alhasil, biaya produksi juga ikut terkerek.

Apalagi, Taufik bilang, penyuplai bahan baku maupun bahan penunjang industri mebel saat ini pintar. Alih-alih menggunakan rupiah, mereka menjual produk bahan penunjang seperti cat ataupun sekrup dalam mata uang dollar AS. Alhasil, “Rupiah mau naik atau turun enggak ada pengaruhnya,” ujar Taufik.

Lain cerita jika eksportir sudah memiliki stok bahan baku setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Lantaran bahan baku masih menggunakan harga lama, eksportir bisa sedikit untung saat rupiah melemah. Pada saat itu, eksportir harus cepat-cepat mengekspor produknya. Sebab,  saat membeli bahan baku tiga bulan kemudian, harga sudah naik.

Nasib eksportir tekstil tak jauh beda. Benny bilang, sebanyak 100% kapas yang menjadi bahan baku tekstil merupakan produk impor. Bahan baku lainnya seperti poliester dan rayon memang disuplai dari dalam negeri. Namun, kedua produk tersebut dijual dalam mata uang dollar AS. Alhasil, sebanyak 60% bahan baku industri tekstil menggunakan dollar AS.

Belum lagi, biaya di pelabuhan untuk kegiatan ekspor juga menggunakan mata uang dollar AS. Alhasil, saat rupiah melemah, biaya produksi jelas ikut membengkak.  

Meski begitu, menurut Taufik, penguatan dollar AS menandakan perekonomian  negeri Paman Sam mulai membaik. Dengan begitu, permintaan mebel dari AS akan kembali meningkat. Taufik bilang, permintaan mebel dari Eropa dan AS sudah mulai meningkat sejak Januari lalu. Setidaknya, ada kabar cukup baik bagi para eksportir.       


Laporan Utama
Kontan No. 25-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×