Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Nasib hasil-hasil temuan dari riset sepertinya masih akan berjalan di tempat dalam beberapa tahun ke depan. Butuh waktu cukup lama untuk memajukan riset di Indonesia. China, misalnya, butuh 20 tahun sehingga iklim riset maju seperti sekarang dengan pengeluaran total research and development (R&D) atau riset sebesar 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Di Indonesia, total biaya riset tahun 2015, menurut kajian Erman Aminullah, Peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mencapai Rp 14,77 triliun, terdiri dari biaya riset kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah Rp 11,48 triliun dan riset pihak swasta Rp 3,29 triliun.
Dengan hitungan kurs dollar Rp 12.500 per dollar AS, Erman memperkirakan PDB Indonesia 2015 Rp 11.747,14 triliun. Ini artinya, rasio biaya total riset terhadap PDB masih 0,12%. Masih jauh dibandingkan China yang sebesar 1,5%.
Tahun 2020, Erman memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 3,99%, PDB Indonesia sebesar Rp 18.725,69 triliun dan rasio riset terhadap PDB masih 0,22%. Angka ini diperoleh dengan perkiraan biaya total riset di Indonesia Rp 40,32 triliun, yang terdiri dari biaya riset K/L Rp 28,70 triliun dan biaya riset swasta
Rp 11,62 triliun.
Jadi, lanjut Erman, bisa kita lihat pertumbuhan biaya riset di Indonesia dalam 5 tahun masih lambat. “Sinergi kerjasama antara peneliti, industri, dan pemerintah belum kuat saat ini sehingga hasil penelitian sulit digunakan oleh masyarakat,” kata Josh Sri Sumantyo, panggilan akrab dari Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuan Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang.
Riset sendiri dan makelar
Erman melanjutkan, wajar jika perusahaan masih memilih mendirikan divisi riset sendiri ketimbang meminta bantuan riset lembaga pemerintah. Pasalnya, biayanya mahal. Atau, memang tidak ada kebutuhan dari perusahaan. Di sisi lain, sering kita jumpai, hasil-hasil riset pemerintah itu sendiri malah susah dijual.
Menurut Josh, hasil riset akan laku jika mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Kalau peneliti hanya ikut tren riset luar negeri, belum tentu memenuhi kebutuhan masyarakat. “Oleh karena itu penelitian-penelitian kita harus berbasiskan permasalahan yang ada di Indonesia bila kita ingin menjual hasil penelitian ke masyarakat kita,” tegasnya.
Salah satu perusahaan yang mengembangkan divisi risetnya sendiri adalah PT Hartono Istana Teknologi (Polytron). Sejak berdiri 1982, R&D Department Polytron sudah mematenkan 38 Hak Kekayaan Intelektual (HKI/hak paten) di Indonesia, Kanada, dan Amerika Serikat. Sekitar 9 di antaranya sudah berstatus “patent granted” dan 29 berstatus “patent pending”.
Santo Kadarusman, Public Relations and Marketing Event Manager Polytron bilang, semua penemu atas hak paten itu adalah karyawan Polytron. “Penguasaan teknologi cukup bisa bersaing karena sebagai perusahaan nasional, Polytron mengetahui keinginan konsumen kita sendiri,” kata Santo.
Selain Polytron, beberapa perusahaan yang juga mendirikan divisi riset sendiri di antaranya PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) dan PT Caprifarmindo Laboratories. “Kami (LIPI) memberi penghargaan kepada
Caprifarmindo dan Pusri sebagai stimulan agar industri lainnya ikut mengembangkan riset,” tegas Erman.
Josh menambahkan, selain peran industri, para makelar teknologi juga sebaiknya turut ambil bagian dalam penelitian. Jangan cuma minta ini–itu dengan tujuan produk hasil risetnya laku terjual tanpa ikut andil membiayai penelitian. Dengan demikian, ada mekanisme berbagi risiko penelitian juga. Jika itu bisa berjalan, bukan tidak mungkin hasil penelitian Indonesia bisa laku dijual ke luar negeri karena kerjasama industri, pemerintah, dan makelar teknologi.
Sebagai contoh, bekerjasama dengan perusahaan swasta di Indonesia, saat ini Josh mulai meneliti pengembangan C-Band Synthetic Aperture Radar “Sharp-eye”. Penelitian ini merupakan hasil teknologi tinggi pertama yang dimulai perusahaan swasta non-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. “Sensor ini akan dioperasikan Boeing 737–200 mulai Maret 2016,” kata Josh.
Eniya Listiani Dewi, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menampik jika produk-produk pemerintah, misalnya BPPT, tak laku dijual. “Hanya belum ada yang mau membeli dan memanfaatkan. Produk kami belum dihargai di dalam negeri,” ujarnya, lirih.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 12-XX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













