Reporter: Yudho Winarto | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan putusan yang menyatakan menolak upaya hukum kasasi jaksa terhadap kasus dugaan korupsi pengelolaan ladang minyak Blok Ramba. MA menyatakan, Aditya Wisnuwardhana bersama Franciscus Dewana Darmapuspita dilepaskan dari segala tuntutan.
Putusan kasasi jatuh pada tanggal 11 November 2012, dengan Majelis Kasasi yang terdiri dari Hakim Agung Djoko Sarwoko (Ketua), dan Sophian Marthabaya, Mohammad Askin, Leopold Luhut Hutagalung, serta Surya Jaya selaku anggota. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan tingkat pertama dan banding.
Sebelumnya, Aditya Wisnuwardhana yang merupakan putra taipan Edward Soeryadjaya bersama Franciscus didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan ladang minyak Blok Ramba di Sumatera Selatan yang menyebabkan kerugian negara senilai US$9,6 juta.
Keduanya didakwa Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai dakwaan primer. Aditya dan Franciscus disebut-sebut mengambil alih manajemen Elnusa Tristar Ramba Limited (ETRL) dan ingin menguasai 100% manajemen ETRL dengan maksud untuk memiliki dana operasional dari nett take pengelolaan Blok Ramba.
Kedua terdakwa selaku direksi ETRL, dituding telah mengambil alih saham Tristar Global Holdings Corporation (TGHC) dan manajemen ETRL secara paksa, termasuk mengambil dana operasional ETRL di BNI cabang Musi Palembang senilai US$10 juta. Uang itu kemudian dialihkan kedua terdakwa kepada sejumlah pihak.
Antara lain, Soetrisno Bachir pada tanggal 4 September 2008 senilai US$400.072, Rodyk & Davidson LLP pada 16 September 2008 senilai US$137.432, Stamford Law Corporation pada 16 September 2008 senilai US$17 juta, Manwani Santos Tekchand pada 22 September 2008 senilai US$1,239 juta, dan kembali kepada Soetrisno Bachir pada 25 September 2008 senilai US$387.949.
Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan perbuatan kedua terdakwa sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2 UU Tipikor. Majelis melihat adanya fakta bahwa para terdakwa menguasai PT TGHC dan ETRL.
Namun, majelis menilai perbuatan hukum yang dilakukan para terdakwa dilandasi perjanjian-perjanjian yang berbentuk akta otentik. Sehingga, perbuatan hukum para terdakwa lebih cenderung ke dalam hukum keperdataan.
Sekalipun perbuatan terbukti melanggar Pasal 2 UU tipikor, namun perbuatan bukan tindak pidana. Lantaran itu, majelis menyatakan para terdakwa harus diputuskan lepas dari tuntutan hukum. Meski demikian, kasasi ini tidak diputus secara bulat.
Dua Hakim Kasasi berpendapat berbeda (dissenting opinion) yakni Djoko Sarwoko dan Mohammad Askin yang menyebutkan kedua terdakwa telah terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan Aditya dan Franciscus yang menguasai perusahaan telah berpotensi merugikan kepada pengurus lama dan merugikan keuangan negara yang ditempatkan dalam perusahaan tersebut.
Makanya terdakwa harus dihukum setimpal dengan perbuatannya. Dalam tuntutan Jaksa, Aditya dan Franciscus dituntut ancaman 11 tahun penjara dengan denda Rp500 juta dan ganti rugi US$800.000.
Terkait putusan ini, kuasa hukum Aditya, Juniver Girsang mengaku puas dan menyambut baik. Artinya MA telah sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melepaskan keduanya dari dakwaan dugaan korupsi Blok Ramba.
"Putusan pengadilan menyatakan tuduhan jaksa tidak berdasar hukumnya terutama perihal tindak pidana yang dilakukan Aditya. Ini yang membuat putusan membebaskan. Dengan demikian sudah tepat," ujarnya.
Sementara itu, sampai berita ini diturunkan belum ada konfirmasi dari pihak Kejaksaan Tinggi DKI. Saat dihubungi melalui telepon genggam, Kajati Didik Darmanto DKI tidak aktif dan juga tidak membalas pesan singkat yang telah dilayangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News