kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LSM lingkungan soroti kebijakan pemerintah dalam pengendalian karhutla


Selasa, 23 Februari 2021 / 21:02 WIB
LSM lingkungan soroti kebijakan pemerintah dalam pengendalian karhutla
ILUSTRASI. Kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dinilai cenderung inkosisten.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang cenderung inkosisten.

Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL mengatakan, agenda pemerintah dalam menangani karhutla melalui instruksi presiden (Inpres) tidak jelas pencapaiannya. Hal ini dibuktikan dari laporan yang tidak disampaikan ke publik.

ICEL mencatat, sejak tahun 2015 sudah ada Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan (Inpres 11/2015). Namun, hingga saat ini laporan pencapaian Inpres tersebut tidak dibuka ke publik.

Padahal, sudah ada putusan Komisi Informasi No. 001/1/KIP-PS-A/2017 yang menyatakan bahwa laporan pencapaian Inpres Nomor 11/2015 merupakan informasi publik yang terbuka. Dalam amar putusan tersebut, Majelis Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenko Polhukam untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 serta menyerahkannya kepada presiden dan pemohon.

“Tanpa adanya laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 yang dibuka ke publik, tentu kita tidak dapat menilai sejauh mana capaian Pemerintah dalam mengendalikan karhutla,” kata Grita dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/2).

Baca Juga: Diadang asap dan sumber air terbatas, pemadaman karhutla di Riau terkendala

Presiden juga telah menerbitkan Inpres No. 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Inpres 3/2020) yang menggantikan Inpres 11/2015. Sayangnya, masih tidak dijumpai adanya kewajiban pelaporan kepada publik dalam Inpres 3/2020. Pengoordinasian pelaporan dilakukan oleh Sekretaris Kabinet langsung kepada presiden, tanpa adanya kewajiban pelaporan ke publik.

“Sebagai evaluasi dan perbaikan agar tidak mengulang kesalahan Inpres sebelumnya, harus ada indikator capaian yang jelas, akuntabel, dan disertai pelaporan yang transparan ke publik tentang sejauh mana pelaksanaan Inpres 3/2020 tersebut oleh Kementerian dan Lembaga terkait yang ditugaskan, termasuk dampak yang dihasilkannya,” jelas Grita.

Selain itu, ICEL mencatat, eksekusi belum berjalan dengan baik sehingga penegakan hukum karhutla belum optimal. Dilansir dari Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri LHK tanggal 1 Februari 2021, KLHK telah mengajukan 28 gugatan dengan total nilai ganti rugi dan pemulihan yang dimenangkan sebesar Rp 19,8 triliun. Namun dari nilai kemenangan tersebut, masih ada Rp 19,3 triliun yang belum dapat dieksekusi.

“Jika memang pemerintah serius melakukan penegakan hukum tanpa kompromi, dan untuk bisa memberikan dampak positif penegakan hukum, maka eksekusi putusan yang telah dimenangkan dan berkekuatan hukum tetap harus menjadi prioritas utama. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan mendesak untuk segera melakukan pemulihan lingkungan,” ujar Grita.

Grita mengatakan, terdapat beberapa instrumen hukum yang justru memperlemah penegakan hukum karhutla. Misalnya UU Cipta Kerja yang mengatur sektor perkebunan.

Dalam perubahan Pasal 67 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, hanya disebutkan bahwa setiap pelaku usaha wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup. Padahal dalam ketentuan aslinya, terdapat ketentuan yang lebih tegas seperti kewajiban pelaku usaha untuk memiliki Amdal, analisis risiko, dan sarana-prasarana pengendalian kebakaran.

“UU Cipta Kerja menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam PP. Namun dalam PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, tidak dijumpai ketentuan tersebut,” terang Grita.

Atas dasar itu, ICEL meminta pemerintah untuk melaksanakan Inpres 3/2020 secara akuntabel, melibatkan masyarakat, dengan indikator capaian yang jelas, disertai laporan yang dirilis ke publik. Pemerintah juga harus segera mengadakan forum koordinasi dengan instansi penegakan hukum (gakum) terkait, terutama KLHK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan dan instansi lainnya yang berwenang mengurus pendanaan dan pemulihan untuk dapat mempercepat proses eksekusi perkara-perkara karhutla.

“Sekalipun terdapat ketentuan yang melemahkan penegakan hukum, Pemerintah harus tetap berpegang pada prinsip perlindungan lingkungan dan kembali pada ketentuan UU organik yang mengatur kewajiban dengan lebih tegas,” tutur Grita.

Selanjutnya: Jokowi minta penegakan hukum pada pembakar hutan dilakukan tanpa kompromi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×